Minggu, 30 Maret 2008

SERAT, SASTRA JAWA, untuk refrence pribadi dan sedulur yang cinta suka Jawa

Ini ada saya kasih beberapa serat tentang jawa....
saya down load karena saya suka jawa. semoga bagian ini bermanfaat atau setidaknya pernah bermanfaat bagi kawan kawan yang suka dan sayang dengan jawa...
dan satu lagi supaya saya tidak menghujat terus keberadaan beberapa orang yang terlalu serakah, setidaknya dalam beberapa parameter saya heheheheh........

saya yakin jika diamalkan beberapa serat ini juga bisa mengantarkan manusia kejalan Allah SWT. insya Allah.

SERAT CEMPORET
karya : Pakubuwono IX

1. Songsoggora (payung agung) sebagai lambang keselamatan, bagaikan winidyan (dikaruniai pengetahuan) yang sesuai benar dengan apa yang diidam-idamkan, namun tetap ringa-ringa (ragu-ragu) sewaktu menggubah, karena tidak darbe (memiliki) kemampuan yang tinggi, sehingga terlebih dahulu harus angruruhi (mencari) kerisauan batin, dan jaga (menjaga) angkara murka, seraya mohon luwaring (semoga terbebas dari) kesedihan, agar jangan kongsi (sampai) bingung dalam menyusun jalannya cerita ini, dan demikianlah cerita ini ginupita (digubah)

2. Sesungguhnya buku cerita ini disusun atas kehendak Sri Baginda IX, yang bertahta di kerajaan besar Surakarta. Sri Baginda termasyhur di dunia karena kesaktiannya dan sebagai perujudan utama akan sifat-sifat utama, suci, berhati sabar, sentosa, pemurah serta tulus cintanya kepada rakyat, sehingga besar maupun kecil mereka semua mendoakan kesejahteraan kerajaan Sri Baginda.

3. Sebagai awal dari cerita ini akan diungkapkan sebuah kiasan yang indah yang dapat dijadikan teladan dalam melakukan segala hal, asal saja dicari yang rahayu untuk memperingatkan kekhilafan budi, agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan mudah, Yang diungkapkansebagi suri teladan adalah cerita lama, bagian akhir dari Pustaka Rajaweda yakni tentang negara Purwacarita.

4. Negeri itu sangat sejahtera berkat wibawa raja, yang bergelar Sri Mahapunggung, yang kukuh berpegang pada darma dan peraturan serta ahli di bidang ilmu pengetahuan. Semula raja Suwelecala yang menjadi awal cerita, mempunyai enam orang anak laki-laki yang berimbang kesaktiaannya.

5. Yang sulung bernama Raden Jaka Panuhun, ia tertarik pada bidang pertanian. Oleh karena itu ia naik tahta dan memerintah segenap masyarakat tani di daerah Pagelan dan sekitanrnya, disanalah ia membangun sebuah kota sebagai pusat pemerintahan daerah Pagelen dan Kutaarja serta bergelar Sri Manuhun.

6. Anak yang kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba, tertarik pada dunia perdagangan. Oleh karena itu layaklah kalau ia sangat tekun berusaha mengumpulkan modal, sehingga akhirnya menjadi raja saudagar, berpusat di Jepara dan bergelar Sri Sadana.

7. Anak yang ketiga bernama Raden Jaka Karungkala, kegemarannya menjelajahi hutan belantara berburu kijang, rusa, banteng, lembu dan memikat burung. Waktu tua menjadi raja di Kirata memimpin para pemburu, para penangkap binatang, para pemelihara ternak dan semua pedagang daging.

8. Dulu kotanya di Prambanan dan bergelar Sri Kala, juga terkenal dengan sebutan Kirataraja. Adiknya yakni Jaka Tunggumetung, kegemarannya mengarungi lautan mencari ikan atau menyadap enau di waktu siang, seraya membuat garam di waktu malam.

9. Oleh karena itulah dahulu ia merajai segenap nelayan, mengumpulkan dan memimpin para penyadap serta menguasai para pembuat garam. Dulu pusatnya di Pagebangan dan bergelar Sri Malaras, anak yang sumendi, yakni kakak si bungsu yang bernama Raden Jaka Petungtantara, karena gemar beroleh puji dan samadi serta mempelajari ilmu kependetaan dan kepujanggaan istana.

10. Jadilah ia raja para maharesi, segenap pendeta dan ajar, itulah yang ia kuasai, seraya menghimpun para penghulu serta brahmana dan mengatur kehidupan beragam di Medangkawit. Oleh karena itu ia bergelar Raja Resi Sri Madewa. Pertapaannya berpusat di Pamagetan, yang terletak di lereng Gunung Lawu, dibangun sebagai sebuah kerajaan yang sejahtera.

11. Adapun yang muda, lahir dari permaisuri bernama Jaka Kanduyu, kegemarannya berorganisasi, menghimpun dan mempersatukan rakyat kecil, sehingga setiap kali ada permusyawaratan selalu seia sekata dengan segenap sanak keluarga. Ia memang mahir membangkitkan semangat dan memikat hati, sehingga mempeperoleh kewibawaan.

12. Ketika ia berkelana memperluasa daerah kekuasaan dengan membawa pasukan, terjadilah peperangan dan ia menang perang mengalahkan Sri Daneswara beserta patihnya yang muksa bersama-sama. Setelah keduanya kalah, tak ada yang tampil lagi seluruh punggawa dari kerajaan itu sepakat untuk menyerah. Tak lama kemudian Raden Jaka Kanduyu menjadi raja di Purwacarita.

13. Berkat pahala Hyang Hutipati, ia dianugerahi kebijaksanaan yang sempurna. Kemudian berganti nama menjadi Sri Mahapunggung, meneruskan gelar raja yang dikalahkannya dalam peperangan, sekaligus untuk merahasiakan kesaktiannya. Upacara penobatannya dihadiri oleh para brahmana, resi, dan raja-raja dari mancanegara.

14. Peristiwa itu terjadi pada masa Srawana, tahun Sadamuka yakni tahun Surya : 1031 atau menurut hitungan tahun Candra : 1061, yakni kurang lebih satu tahun setelah mengangkat saudara-saudaranya memerintah di kerajaan masing-masing, lengkap dengan daerah kekuasaannya.

15. Demikianlah telah berlangsung beberapa waktu lamanya tanpa ada sesuatu halangan, kini tersebutlah di Pegelen Sri Baginda Sri Manuhun, yang sedang merasa masygul. Sebab musabab kesedihannya ialah, berputra du orang, dua-duanya cacat. Seorang cebol dan yang seorang wujil, yang cebol diberi nama Raden Jaka Pratana.

16. Yang wujil diberi nama Raka Jaka Sangara, hal ini membuat ayahnya sangat malu, sehingga siang dan malam ia tiada hentinya bersembahyang, mohon petunjuk dewa yang didambakan ialah semoga dianugerahi anak laki-laki yang tampan, serba bisa mengatasi segala sesuatu agar supaya tidak mencemaskan.

17. Kini terdengarlah petunjuk dalam samadinya “ Hai Sri Baginda, mintalah pertolongan kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon, engkau pasti akan memperoleh sarana sehingga bisa mendapat anak laki-laki yang tampas dan pantas, segeralah engkau ikhtiar dan jangan membawa pengiring.

18. Sri Baginda keluar dari tempat samadinya, pergi tanpa pengiring dengan cara menyamar. Syahdan bergantilah yang diceritakan, Kyai Buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon bernama Buyut Samalangu, putra Buyut Salinga cucu seorang biku sakti yang bernama Resi Samahita.

19. Buyut Samalangu itu beristri jin, mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Yang tua perempuan bernama Rara Srini, adiknya bernama Jaka Sarana, tampan. Karena pengaruh tapa, kedua anaknya tidak serupa dengan anak kelahiran desa akan tetapi seperti putra raja.

20. Keduanya selalu menjadi hiasan berita di desa-desa dan dukuh-dukuh sekitar Sendangkulon, Orang membayangkan perasaannya betapa bahagianya andaikata terbalas cintanya. Akan tetapi tidak terpenuhi karena takut kepada Ki Buyut, yang bertabiat lemah lembut serta selalu berprihatin dalam sembahnya untuk menjaga keselamatan keluarga.

21. Tersebutlah Ki Buyut yang tengah memohon sepenuh hati, bertafakur dalam sanggarnya. Hatinya terpusat kepada anak, semoga mendapat anugerah kemurahan dewata, terpilih oleh raja. Permohonannya terkabul bersamaan dengan turunnya wahyu diwaktu tengah malam.

22. Turunlah istrinya, jin yang bernama Diah ratna Sriwulan, ia datang dengan tiba-tiba dan Ki Buyut segera bersiap di tempat yang sepi. Setelah ditanya maksud kedatangannya, istrinya lalu memberi petunjuk dengan jelas, suaminya diminta supaya membenahi rumah karena akan ada tamu.

23. Bukan tamu sembarang tamu dari golongan rakyat biasa, namun seorang raja yang menguasai sebuah kerajaan yang berpust di Pagelen bergelar Sri Manuhun. Kedatangannya karena menaati petunjuk. Ia sedang masygul karena kedua anaknya menderita cacat. Ia memperoleh petunjuk supaya menemuimu hendak minta isyarat.

24. Kelak pasti mempunyai putra yang tampan, petunjuk itu benar-benar dilaksanakan, ia datang seorang dari tanpa pengiring. Karena memang sudah kehendak dewata, dan sudah takdir Rara Srini menjadi perantara, ia dipersitri oleh raja, untuk menurunkan keturunan yang mulia, sekaligus menarik saudara sekandung ikut merasakan kebahagiaan.

25. Mendengar hal itu Kyai Buyut gembira di hati, lalu ia bertanya “ Wahai adinda, bagimana caranya agar hal itu bisa terlaksana secara meyakinkan sesuai dengan kehendaknya, terbuka secara serasi “ Ratna Sriwulan menjawab “ jangan kuarti ! sayalah yang akan mengatur dengan menggunakan siasat.

26. Atau sarana sebagai tabir, anda menggunakan cara terbuka pasti nanati ada tanda-tandanya yang bercirikan tulisan. Jelaskan apa adanya, jika sudah ada buktinya, disitulah saatnya menerka-nerka isyarat, yang cocok dengan petunjuk yang harus ditafsirkan, lalu tinggallah puji dan doa.

27. Sesudah selesai memberi penjelasan, sang dewi lalu pamit kepada suami, dalam sekejap mata mata ia telah lenyap, gain tertutup suasana. Tersebutlah Kyai Buyut, ketika hari menjelang pagi ia memberi tahu anaknya supaya memperpatut tata rumah, yang disuruh mengiakan keduanya mulai bersiap-siap.

28. Patanenya dibersihkan semua diberi bunga yang harum, lantainya dihampiri tikar berderet-deret, minuman diatur diatas para-para dengan sesajian lengkap dan penuh, tak ada yang mengecewakan. Ki Buyut diberi tahu oleh anaknya, bahwa segala persiapan di dalam rumah sudah selesai, ia merasa gembira lalu gembira.

29. Untuk menyongsong kedatangan raja, tak lama kemudian bertemu di pagar rumah, kedua-duanya merasa gembira. Ki Buyut Samalangu gopoh-gopoh mempersilakan dan raja, setibanya di dukuh menanggapi dengan seneng, lalu masuk ke rumah. Sri Baginda dipersilakan duduk di petanen yang sudah diatur, dengan senang hati ia duduk tanpa ragu-ragu.

30. Kyai Buyut duduk menunduk di hadapannya bersama kedua orang anaknya, beberapa saat kemudian Ki Buyut mengucapkan sambutan selamat datang “ Atas kedatangan Sri Baginda, hamba merasa sangat beruntung bagaikan kedatangan dewata, yang menganugerahi kemuliaan tanpa bandingan melingkupi segala-galanya.

31. Sampai pohon-pohon dan daun-daun semuanya senyap, semuanya bertmabha indah dan semakin subur karena terlindung oleh kewibawaan manikam kerajaan yang luhur, hamba bagaikan mimpi, apakah gerangan yang paduka kehendaki sehingga datang menyamar seorang diri tanpa pengiring, pagi-pagi bener tersesat dan berkenan mengunjungi pondok hamba.

32. Tiada lain hamba mohon aksama, siap menerima kemurkaan paduka, jika sekitarnya kurang tata krama. Karena hamba hanyalah pacal dukun, yang tak mungkin tahu akan sopan santun. “ Sri Baginda menjawab “ Sudahlah, jangan berkata demikian. Memang sengaja saya sampai di sini, sebabnya ialah karena taat kepada petunjuk, Sri Baginda lalu menjelaskan duduk persoalannya.

33. Sejak awal hingga akhirnya bertemu, kemudian ujarnya meminta “ Sesungguhnya aku mengharapkan pertolonganmu, terserah bagimana petunjukmu, aku menurut “ Mendengar penuturan Sri Baginda, Kyai Buyut benar-benar takjub, lalu berdatang sembah, “ Duhai junjungan hamba, sungguh tak terbayangkan keajaiban kehendak dewa itu, namun apa kemampuan hamba.

34. Orang desa lagi hanya petani jelata, paling-paling hanya mengolah tanaman menanam biji-bijian seadanya, seperti jepen, jali, jawawut, bijen, cantel, jatil, kedali sebagai mata pencarian untuk selama-lamanya. Mustahil untuk menduga-duga masalah kesaktian yang benar-benar tidak mungkin melaksanakannya, oleh karena itu hamba berserah diri.

35. Ke bawah kaki paduka, menghaturkan hidup dan mati hanya karena merasa bertanggung jawab, namun hati ini ternyata buntuk. Mengapa dunia jadi terbalik, junjungan minta sarana kepada rakyatnya, tentu tidak akan terjadi, lautan mengalir ke kubangan air, demikianlah jika diumpamakan dengan air.

36. Tidak sesuatu dengan kodrat dunia, dan keajaiban itu seribu langka. Sungguh hamba tidak dapat memikirkan kehendak Sri Baginda yang demikian, yang terjadi sejak jaman dahulu kala bagi seorang raja, jika ada rakyatnya yang kekurangan sandang pangan maupun kegelapan budi, rajalah yang mengatasinya.

37. Raja Pagelen berkata lembut, “Hai, paman. Meskipun demikian, namun aku ini menaati petunjuk dewata, yang tidak akan ingkar meski kita mengingkarinya. Dewata selalu mengetahui segala gerak-gerik umatnya. Aku tetap mendesak dan berusaha sampai berhasil. Meskipun hanya sekedar kata-kata tanpa dasar yang aku peroleh, biarlah. Akan kuterima juga.

38. Asalkan engkau yang menjadi lantaran memberi sarana, saya akan merasa puas. “Ki Buyut berdatang sembah dengan suara lemut, “Wahai, Sri Baginda. Jika demikian kehendak paduka, hamba tidak akan ingkar lagi, karena terdesak oleh kebutuhan dan karena ingin mengamini, hamba hendak menunjukkan jalan menurut cara orang orang kecil berdasarkan ilmu orang dusun.

39. Mudah-mudahan dapat memenuhi harapan, sesuai dengan petunjuk, yang gamblang dan terang. “Sri Baginda berkata lagi, “Nah paman! Jangan ragu-ragu. Laksanakanlah segera ilmumu seadanya. “Ki Buyut segera mempersiapkan tujuh lembar daun tal kuning ditaruh di dalam kotak kecil tertutup.

40. Sesudah diletakkan di hadapan Sri Baginda, sekarang silahkan paduka mengambil sastra wedar tanpa aksara. Pilihlah satu yang paduka kehendaki. “Sri Baginda heran sekali melihatnya karena caranya yang sangat ajaib dalam melakukan usaha mendapatkan petunjuk.

41. Beberapa saat kemudian Sri Baginda mengambil sastra wedar. Ketika diteliti tampak ada tulisannya, kemudian dibaca, dan berbunyi: “Hai, Sri Baginda! Sudilah engkau mengambil srini sebagai sarana, yang akan merupakan pagar kesalamatan. “Sri Baginda terdiam. Ia belum dapat menagkap sasmita atau petunjuk yang tertulis itu. Relug kalbunya masih ruwet.

42. Akhirnya Sri Baginda berkata, “paman Buyit. Coba jelaskan makna kalimat ini. Apa gerangan maksudnya. Aku belum dapat menagkap artinya. “Kyai Buyut tersenyum berdatang sembah, “Hamba mohon maaf. Seyogyanya paduka mengambil lagi. Siapa tahu, petunjuk tulisannya berlainan. “Sri Baginda tidak menolak.

43. Kemudian mengambil lagi selembar daun tal, lalu selembar lagi, hingga tiga kali. Semua tiada bedanya. Aksara dan kalimatnya sama, seperti yang sudah-sudah. Hati Sri Manuhun masih tetap bingung, akan tetapi kebingungannya tidak diperlihatkan. Sambil memikirkan pemecahannya, barang kali menemukan jawaban, Sri Baginda berpura-pura.

44. Mendekati Ki Buyut, lalu berkata lembut, “Paman, saya tertarik kepada kedua anak yang menghadap itu. Tingkah lakunya terampil. Yang laki-laki maupun yang perempuan serba luwes dan sangat pantas rupanya. Menilik ujudnya, mungkin kakak adik. Apakah itu anak-anakmu ?”

45. Kyai Buyut menjawab dengan sebenarnya demikian “ Duhai Sri Baginda, benar ia anak hamba kelahiran Sendangkulon sudah lama berpisah dengan ibunya sehingga selalu menjadi buah hati. Karena hanya merekalah milik hamba, rasa-rasanya keduanya tidak dapat berpisah dengan ayahnya, oleh karena itu siang dan malam keduanya tetap berada diasrama.

46. Sri Baginda tersenyum seray berkata lembut “ Sudah sepantasnya orang mempunyai anak, tentu begitu itu anggapannya, menurut kata peribahasa, umpama kereweng kencana. Dasar kedua anakmu itu memang baik-baik, sudah sepantasnya bagaikan nyawa, sepintas lalu seperti kembar, mana yang lebih tua dan siapa namanya.

47. Ki Buyut menjawab “ Yang tua namanya Srini, sedangkan yang muda bernama Sarana “ Sri Baginda berkat menanggapi, kalau begitu yang tua pantas memelihara isi istana, sedangkan yang muda memelihara kerajaan “ Mendengar ucapan Sri Baginda, Ki Buyut menyembah, beberapa hari kemudian Sri Baginda pulang, diiringikan oleh Ki Buyut sekeluarga.

48. Setibanya di istana Sri Baginda memanggil pimpinan para menteri, yang merupakan orang kepercayaan dalam pemerintahan yakni Arya Pratala dan Arya Banawa, keduanya adalah ipar Sri Baginda, diceritakan Arya Pratala itu, adiknya yang bernama Ken Pratiwi menjadi selir Sri Baginda.

49. Dialah yang mempunyai anak laki-laki cebol, yang diberi nama Raden Jaka Pratana, sedangkan Arya Banawa kakak perempuan yang bernama Rara Jahnawi, yang menjadi sesepuh para selir Sri Baginda, berputra laki-laki wujil, yang diberi nama Raden Jaka Sangara yang sudah diceritakan diatas.

50. Pimpinan para menteri itu telah datang menghadap Sri Baginda, mereka diberi tahu tentang segala peristiwa yang telah terjadi. Semua merasa heran, sekarang atas kehendak Sri Baginda, Rara Srini diangkat menjadi permaisuri raja, sedangkan kedua selir menjadi istri yang diberi kekeuasaan untuk mengatur segala pekerjaan di dalam istana.

51. Kyai Buyut diberi kedudukan sebagai sesepuh dan sebagai pendeta istana, yang diberi kekuasaan untuk memberikan pengajaran ke arah budi pekerti yang baik. Sarana diangkat jadi perdana menteri yang memegang kendali pemerintahan. Kedua Arya dimasyhurkan sebagai yang memegang kekuasaan untuk mengatur segala macam pekerjaan serta pemegang hukum kerajaan.

52. Adik dari Ki Buyut yang bernama Umbul Samawana telah lama tiada dan meninggalkan anak laki-laki bernama Jaka Gede, sekarang ditugasi menggantikan pakuwannya bergelar Buyut Agung berkedudukan di Sendangkulon, diangkat oleh Sri Baginda, dengan demikian sejahteralah dukuh Sendangkulon karena penguasanya mahir membina kewibawaan.

53. Rara Srini tidak lama kemudian hamil, setelah cukup waktunya lahirlah anak laki-laki, tampan dan mungil sehingga benar-benar seperti Sanghyang Asmara, menggembirakan hati Sri Baginda, putranya disambut dan dilihat keadaannya benar-benar pantas dan tampan, diberi nama Raden Jaka Pramana.

54. Rajaputra mendapat berkat dewata sehingga cepat menjadi besar, diberi emban bernama Ni Wilasita, waktu berjalan tersu, putra Baginda hampir menjelang akil balig. Semakin jelaslah rupanya akan menguasai initi insan yang terpuji, serba suci serta mahir akan kaidah-kaidah hubungan yang tersamar, sehingga pantas menjadi seorang raja.

enclaim

Aug 7 2007, 01:59 PM

SERAT CENTINI

1. Sri Narpatmaja Sudibya, talatahingnusma Jawi, Surakarta Hadiningrat, hagnya ring kang wadu Carik, Sutrasna kang kinanthi, mangunreh cariteng dangu, sanggyaning kawruh Jawa, hingimpun tumrap kakawin, mrih tan kemba karya dhangan kang miyarsa.

2. Lajere kang cinarita, laksananing Jayengresmi, ya She Adi Amongrogo, atmajeng njeng Sunan Giri, kontap janma linuwih, Oliya Wali Mujedub, peparenganing jaman, njeng Sultan Agung Matawis, tinengeran Serat Suluk tambangraras.

3. Karsaning Sang Narpatmaja, babon pangawikan jawi, jinereng dadya carita, sampating karsa marengi, Nemlikur Saptu Paing, lek Mukharam je warseku, mrakeh Hyang Surenggana, Bathara Yama Dewari, amawulu wogan su-ajag sumengka.

4. Panca-sudaning Satriya, wibawa lakuning geni, windu adi mangsa sapta, sangkala angkaning warsi, paksa suci sabda ji ( 1742 ) ingkang pinurwa ing kidung, duk Keraton Majalengka, Sri Brawijaya mungkasi, wonten Maolana saking nagri Jedah.

5. Panengran She walilanang, praptanira tanah jawi, kang jinujug Ngampeldenta, pinanggih sang maha resi, areraosan ngelmi, sarak sarengat njeng rosul, nanging tan ngantya lam, linggar saking Ngampelgadhing, ngidul ngetan anjog Nagri Belambangan.

Serat Centini

Serat Centhini, sebagaimana kita tahu, ditulis oleh sejumlah pujangga di lingkungan Keraton Surakarta yang diketuai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV. Karya yang terkenal dengan sebutan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa, atau 1814 dalam tahun Masehi. Karya ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi mengenai dunia dalam masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, atau katakanlah semacam database pengetahuan Jawa. Jumlah keseluruhan serat ini adalah 12 jilid. Aspek-aspek ngelmu yang dicakup dalam serat ini meliputi persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, kerawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon atau horoskop, soal makanan dan minuman, adat istiadat, cerita-cerita kuna mengenai tanah Jawa dan lain-lainnya.

Yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini, tetapi ia telah mengalami "pembacaan" ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai "teks besar" yang "membentuk" kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodokasi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk "membaca kembali" Islam dalam konteks setempat, tanpa ada semacam kekikukan dan kecemasan karena "menyeleweng" dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan "resistensi". Penolakan tampil dalam nada yang "subtil", dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.

Barangkali, Serat Centhini bisa kita anggap sebagai cerminan dari suatu periode di mana hubungan antara Islam dan kejawaan masih berlangsung dalam watak yang saling mengakomodasikan, dan tidak terjadi kontestasi antara keduanya secara keras dan blatant. Sebagaimana kita tahu, dalam perkembangan pasca-kemerdekaan, identitas kejawaan makin mengalami "politisasi" dalam menghadapi naiknya kekuatan Islam yang cenderung "puritan" dalam kancah politik. Dalam konteks semacam ini, antara kedua identitas ini (Islam dan Jawa), terdapat hubungan yang tegang dan penuh prasangka. Ketegangan ini terus berlanjut hingga dalam pemerintahan Orba.

Serat disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga, dan seorang putri bernama Rancangkapti. Dengan diikuti oleh dua santri, Gathak dan Gathuk, Jayengresmi melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojanagara, hutan Bagor, Gambiralaya, Gunung Pandhan, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang. Dalam perjalanan ini, Jayengresmi seperti mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuna, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawi. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, alamat bunyi burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu bersanggama, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syeh Siti Jenar.

Jayengsari dan Rancangkapti berkelana dengan diiringi oleh santri Buras ke Sidacerma, Pasuruhan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Brama, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argapura, Gunung Rawun, Banyuwangi, terus ke Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas. Dalam perjalanan itu, mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawi, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan (yang terkesan agak bertakik-takik dan njlimet) mengenai dzat Allah, sifat, asma dan afngal-Nya, sifat dua puluh, Hadis Markum, perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan Pandawa.

Melihat luasnya daerah serta lingkup pengetahuan yang dipelajari ketiga putra-putri Giri itu, tampak sekali ambisi penggubah kisah dalam Serat Centhini ini untuk "menerangkan" secara menyeluruh "dunia dalam" orang Jawa. Dengan demikian, serat ini juga bisa digunakan sebagai titik masuk untuk mengetahui bagaimana dunia Jawa "plausible" dan bermakna buat orang-orang Jawa sendiri. Sekaligus juga adalah bagaimana Islam "bermakna" dalam konteks tatanan kosmik mereka.

Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur baur dengan mitos-mitos di tanah Jawa. Ajaran Islam yang ortodoks mengenai sifat Allah yang dua puluh, misalnya, diterima begitu saja, tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkan ortodoksi itu dengan mitos-mitos dalam khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik", seolah antara alam "monoteisme" dengan "paganisme"/"animisme" Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan.

Seperti telah dikemukakan di atas, dalam serat ini, Islam memang tidak dipandang semata-mata sebagai unsur eksternal yang "membebani" unsur lokal, bahkan pertentangan (katakan saja) weltanschauung antara kedua dunia itu (Islam dan Jawa) sama sekali tidak dipersoalkan. Begitu saja diandaikan bahwa keduanya commensurable dan saling bisa bertukar tempat. Tetapi, anehnya, dengan cara seperti inilah Jawa (sebagaimana ditampilkan oleh serat ini) melakukan "resistensi" (atau "domestifikasi", dalam istilah Benda) atas Islam. Penggubah serat ini seolah-olah tidak mau tahu bahwa Islam sebagaimana tampil dalam korpus standar membawa sejumlah "efek ikonoklastik" atas kepercayaan setempat.

Pasca-Centhini: Jawa "baru"?

Bagaimana orang-orang Jawa pada periode-katakan saja-"pasca-Centhini" memahami hubungan antara Islam dan kejawaan? Adakah perubahan yang mendasar dalam pandangan-pandangan yang sebelumnya bernada sinkretis itu? Sebuah kesaksian kontemporer dari keluarga Jawa sebagaimana dituturkan oleh Hersri, layak dikutip di sini (saya ambil dari tulisan Hersri Between the Bars yang dimuat dalam buku Silenced Voices suntingan John H McGlynn yang terbit baru-baru ini). Cerita Hersri ini mewakili semacam corak yang umum dalam keluarga Jawa dari kelas bawah. Cerita ini terjadi di tahun 1947/1948.

Hersri adalah orang yang tumbuh dalam keluarga abangan dan tidak mengenal "kesetiaan" yang fanatik terhadap agama-agama resmi. Sikap yang longgar ini tercermin dalam jawabannya ketika suatu ketika ia ditanya oleh gurunya di kelas, "Apa agamamu?" Ia kebingungan, karena di rumah tidak pernah memperoleh pengajaran mengenai kesetiaan yang eksklusif terhadap agama tertentu. Kakaknya yang sulung dikirim oleh ayahnya ke Sekolah Katolik di Muntilan, bukan dengan kesadaran mendalam agar anaknya belajar agama itu. Tetapi, Sekolah Katolik di daerahnya lebih menerapkan disiplin yang keras ketimbang sekolah lain, sehingga dengan demikian ayahnya berharap agar kakaknya yang ndablek itu bisa dijinakkan. Kakaknya yang lain belajar di Sekolah Taman Siswa. Sementara kakaknya yang nomor tiga dikirim ke Sekolah Muhammadiyah, juga bukan dengan alasan agar belajar Islam dengan baik, tetapi karena kakaknya yang satu ini tidak diterima baik di sekolah umum atau Protestan. Bapaknya sendiri selalu berkata bahwa semua agama adalah baik, dan sering ikut dalam acara selamatan desa yang biasanya juga menggunakan sejumlah ritual Islam (seperti tahlil, misalnya). Tetapi ia tidak pernah menjadi Muslim. Terhadap pertanyaan yang membingungkan dari gurunya itu, Hersri akhirnya menjawab, "Saya mengikuti semua agama yang ada." Seluruh murid di kelasnya tertawa.

Apakah ini cerminan dari sinkretisme seperti yang disebut di muka? Boleh jadi. Tetapi sikap permisif secara "teologis" ini lama-lama makin pudar, karena proses yang lain juga sedang berlangsung, yaitu apa yang sering disebut sebagai "santri-isasi" orang Jawa. Saya pernah mendengar cerita seorang jemaat Gereja Kristen di kawasan Pulo Mas mengenai proses "baru" yang sedang berlangsung dalam masyarakat Jawa itu. Dahulu, cerita si jemaat ini, jika ada jenazah di desanya (di Madiun), sudah menjadi adat yang lazim bahwa seluruh warga desa dari agama apa pun akan mengurusnya. Sekarang, setelah sejumlah fatwa MUI dikeluarkan mengenai larangan orang Islam terlibat dalam ritual agama lain (termasuk seremoni kematian, tentunya), pelan-pelan orang makin sadar akan "identitasnya" sebagai orang Muslim atau Kristen atau yang lain. Orang Jawa makin menyadari bahwa ada gejala lain yang muncul ke permukaan: gejala untuk menganggap sikap "permisif" secara teologis sebagai hal yang tidak lagi wajar.

Proses ini, tampaknya sudah berlangsung sejak lama, meskipun resonansinya baru tampak dengan "keras" akhir-akhir ini. GWJ Drewes (dalam artikel berjudul Indonesia: Mysticism and Activism, yang dimuat dalam buku suntingan Gustave von Grunebaum, Unity and Variety in Muslim Civilization, [1955]), pernah mengemukakan pengamatannya di tahun 50-an mengenai proses Islamisasi di tanah Jawa. Ia mengatakan bahwa,

[T]he Islamization of Indonesia is still in progress, not only in the sense that Islam is still spreading among pagan tribes, but also in that peoples who went over to Islam centuries ago are living up more and more to the standard of Muslim orthodoxy.

Kecenderungan yang kita lihat akhir-akhir ini tampaknya memang makin cenderung membenarkan apa yang dikatakan oleh Drewes itu. Tetapi semacam caveat tetap harus dikemukakan di sini. Jika kecenderungan makin "ortodoks" di kalangan masyarakat Jawa seperti dikemukakan oleh Drewes itu benar-benar terjadi, maka harus pula dipertimbangkan kenyataan bahwa dalam pemilu tahun lalu, partai-partai Islam mengalami kekalahan yang dramatis. PDI-P yang mempunyai basis luas di kalangan masyarakat Jawa yang abangan, memperoleh suara yang besar.

Apakah yang bisa kita simpulkan dari perkembangan baru ini? Tampaknya memang Jawa-Serat-Centhini belum menunjukkan tanda-tanda kepudaran, bahkan mungkin semacam resiliensi baru mulai dikembangkan. Meskipun perkembangan-perkembangan baru yang menuju ke arah Jawa-pasca-Centhini juga mulai memperlihatkan gejalanya.


Pethikan "Centhini" pupuh 37. Dhandhanggula, gatra 37 - 49 37 duk uripe neng dunya puniki sadina dina pan wis sakarat miwah sawengi wengine manggung sakaratipun melek turu sakarat ugi mila ngaran sakarat wong neng dunya iku dene ta ing salaminya urip iku neng dunya tan pegat dening layar segara rahmat 39. Ing tepine graitanen ugi dene wus aran iku sagara tanpa tepi supradene kaya na tepinipun ngengkol temen basa puniki kepriye yen kenaa kinira ing kalbu dinuga duga watara saking kira kira mapan datan keni kajaba kang wus wikan 40. Ing tepining ingkang jalanidhi. sagara rahmat kang tanpa ombak nanging gumleger alune samun lamun kadulu sawangane resik tur wening mila kang sami layar tan nganggo parau nyana tan na pakewuhnya yen tinrajang telenge keh parang curi mila arang kang prapta 42. Mampan arang iya angrawuhi ing warnane ya sagara rahmat tur sadina sawengine wong aneng dunya iku alalangen aneng jaladri jroning sagara rahmat prandene arang wruh saking kalingan ing tingal kalimput ing pancabayaning ngaurip mila arang waspada 43. Yen arsa layar maring jaladri sagara rahmat mawia palwa sarta lawan kamudhine pandoman sampun kantun myang layare dipun abecik miwah sanguning marga ywa kirang den agung yen tan mangkono tan prapta ing tepine iya sagara rahmati pan mundhak akangelan 44. Baitane pan eninging galih kemudhine pan anteping tekat sucining kalbu layare pandomanipun iku pituduhe guru sayekti sangune ngelmu rasa lakune parau kalawabn murahing Edat yen tumeka aneng tepining jaladri uga sagara rahmat (badhe kalajengaken menawi taksih wonten ingkang ngersaaken..) Kapethik saking "serat centhini latin 1" Yasandalem kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkurat III (Ingkang Sinuhun Paku Buwana V) jumeneng ing Surakarta ( 1820 - - 1823 M) kalatinaken miturut aslinipun dening Karkana Kamajaya, Penerbit yayasan Centhini, Yogyakarta, 1991











SERAT WULANGREH
karya Paku Buwana IV

Serat Wulang Reh, karya Jawa klasik bentuk puisi tembang macapat, dalam bahasa jawa baru ditulis tahun 1768 – 1820 di Keraton Kasunanan Surakarta. Isi teks tentang ajaran etika manusia ideal yang ditujukan kepada keluarga raja, kaum bangsawan dan hamba di keraton Surakarta. Ajaran etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang ideal, yang dianggap sebagai pegangan hidup yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, khususnya dilingkungan Keraton Surakarta.

Dari serat ini tampak bahwa krisis politik dan ekonomi yang melanda istana-istana Jawa sejak permulaan abad ke 19 meluas ke bidang sosial dan kultural. Institusi-institusi dan nilai-nilai tradisional mengalami erosi, sedangkan yang baru masih dalam proses pertumbuhan. Hal itu terjadi karena politik kolonial pemerintahan Belanda yang semakin intensif dan juga disebabkan oleh pergaulan istana-istana Jawa dengan orang-orang Eropa yang samakin meluas. Banyak adat-istiadat baru yang semula tidak dikenal akhirnya masuk istana. Sementara itu generasi mudanya lebih terbawa ke arus baru daripada menaati dan menjalani yang lama. Dengan demikian generasi muda dianggap kurang menghargai dan kurang menghormati adat istiadat dan nilai-nilai warisan luhur, kurang sopan santun, kurang prihatin, tidak mau mendengarkan dan menerima pendapat orang-orang tua.

Semua tinggkah laku dan cara berpikir mereka dianggap menyimpang dari adat istiadat dan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan. Oleh karena itu perlu adanya pegangan hidup yang seharusnya yang sesuai dengan pedoman yang diwariskan oleh leluhur-leluhur pada masa yang lalu. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa orang-orang istana itu berusaha mempertahankan statusnya. Untuk itulah mereka menggali naskah-naskah lama yang berisi ajaran etika. Teks-teks lama yang digubah, isi dan bahasanya disesuaikan dengan keadaan yang berlaku pada waktu. Ajaran etika dalam Serat Wulang Reh menganggap etika itu otonom dan berpangkal pada dunia batiniah. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai dunia batiniah.

Dengan demikian, niali seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam menguasai batinnya. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadardapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Mengurangi makan dan tidur, segala macam keprihatinan, dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prasyarat menguasai dunia batin secara bertahap.

Ajaran etikanya tetap bersumber pada etika Jawa dengan mengacu pada tokoh-tokoh leluhur dinasti Mataram (Ki Ageng Tarub, Panembahan Senapati dan Sultan Agung). Begitu juga larangan-larangan yang disebutkan adalah larangan-larangan yang berasal dari leluhur dinasti Mataram.

Hubungan sosial masih berpegang pada sifat tradisional dengan urutan berdasarkan usia, pangkat, kekayaan, dan awu’tali kekerabatan’. Konflik terbuka sedapat mungkin dihindari. Dunia lahir yang ideal adalah dunia yang seimbang dan selaras, seperti keseimbangan dan keselarasan lahir dan batin. Hidup orang tidak akan mempunyai cacad dan cela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadaan batin yang terus menerus itu akan mencegah tingkah laku, bicara dan ucapan yang tercela. Mengurangi makan dan tidur itu merupakan latihan yang utama untuk mendapatkankewaspadaan batin. Selain kewaspadaan batin juga dihindari watak yang tidak baik, yaitu watak adigang, adigung dan adiguna. Sebaliknya seseorang itu haruslah memelihara watak “ reh “ bersabar hati dan “ ririh “ tidak tergesa-gesa dan berhati-hati. Kelakuan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain harus dihindari, berbohong, kikir, dan sewenang-wenang haruslah dijauhi.

Jika batinnya telah waspada, tingkah lakunya harus sopan, tingkah laku sopan itu ialah tingkah laku yang :

1. Deduga “ dipertimbangkan masak-masak sebelum melangkah.”

2. Prayoga “ dipertimbangkan baik buruknya “

3. Watara “ dipikir masak-masak sebelum memberi keputusan “

4. Reringa “ sebelum yakin benar akan keputusan itu “

Ada lima hal yang harus dan wajib dihormati yaitu : Ayah dan Ibu, Mertua Laki-laki dan Perempuan, Saudara laki-laki yang tertua, Guru dan raja.

Pesan dan harapan penggubah kepada anak cucu meliputi :

1. Patuh lahir dan batin terhadap nasehat orang tua

2. Jangan berpuas diri atas nasib yang diterima

3. Bertanya kepada alim ulama mengenai soal-soal agama dan Al Quran

4. Bertanya kepada sarjana atau orang pandai mengenai sopan santun dan berbahasa yang baik agar dapat dipergunakan sebagai pegangan hidup.

5. Rajin membaca kitab-kitab lama yang berisi suri teladan dan berisi cerita-cerita yang baik.

6. bertanya kepada orang-orang tua tentang cara membedakan tingkah laku yang baik dan buruk, yang hina dan yang terpuji, yang rendah dan yang tinggi.

Serat Wulang Reh

Serat Macapat Dandanggula

1. Pamedare wasitaning ati, ujumantaka aniru Pujangga, dahat muda ing batine. Nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita.

2. Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.

3. Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang unginga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, tedah sasar susur, yen sira ajun waskita, sampurnane ing badanira, sira anggugurua.

4. Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing chukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.

5. Lamun ana wong micareng ngelmi, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang : prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, lan kijase papat iku salah siji, ana-a kang mupakat.

6. Ana uga den antepi, yen ucul saka patang prakara, nora enak legetane, tan wurung tinggal wektu, panganggepe wus angengkoki, aja kudu sembah Hajang, wus salat kateng-sun, banjure mbuwang sarengat, batal haram nora nganggo den rawati, bubrah sakehing tata.

7. Angel temen ing jaman samangkin, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong jaya ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawening sarak, den arani luput, nanging ta asesenengan, nora kena den wor kakarepaneki, pancene prijangga.

8. Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik karepe, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang pada ngupaya, kudu angguguru, ing mengko iki ta nora, Kyai Guru narutuk ngupaya murid, dadiya kantira.




SERAT WULANGSUNU
Karya : Paku Buwono IV

Pupuh I
a. Wulang sunu kang kinarya gendhing, kang pinurwa tataning ngawula, suwita ing wong tuwane, poma padha mituhu, ing pitutur kang muni tulis, sapa kang tan nuruta saujareng tutur, tan urung kasurang-surang, donya ngakir tan urung manggih billahi, tembe matine nraka.

b. Mapan sira mangke anglampahi, ing pitutur kang muni ing layang, pasti becik setemahe, bekti mring rama ibu duk purwa sira udani, karya becik lan ala, saking rama ibu, duk siro tasih jajabang, ibu iro kalangkung lara prihatin, rumeksa maring siro.

c. Nora eco dahar lawan ghuling, ibu niro rumekso ing siro, dahar sekul uyah bae, tan ketang wejah luntur, nyakot bathok dipunlampahi, saben ri mring bengawan, pilis singgul kalampahan, ibu niri rumekso duk siro alit, mulane den rumongso.

d. Dhaharira mangke pahit getir, ibu niro rumekso ing sira, nora ketang turu samben, tan ketang komah uyuh gupak tinjo dipun lampahi, lamun sira wawratana, tinatur pinangku, cinowekan ibu nira, dipun dusi esok sore nganti resik, lamun luwe dinulang

e. Duk sira ngumur sangang waresi, pasti siro yen bisa rumangkang, ibumu momong karsane, tan ketang gombal tepung, rumeksane duk sira alit, yen sira kirang pangan nora ketang nubruk, mengko sira wus diwasa, nora ana pamalesira, ngabekti tuhu sira niaya.

f. Lamun sira mangke anglampahi, nganiaya ing wong tuwanira, ingukum dening Hyang Manon, tembe yen lamun lampus, datan wurung pulang lan geni, yen wong durakeng rena, sanget siksanipun, mulane wewekas ingwang, aja wani dhateng ibu rama kaki, prentahe lakonano.

g. Parandene mangke sira iki, yen den wulang dhateng ibu rama, sok balawanan ucape, sumahir bali mungkur, iya iku cegahen kaki, tan becik temahira, donya keratipun, tan wurung kasurang-kasurang, tembe mati sinatru dening Hyang widhi, siniksa ing Malekat.

h. Yen wong anom ingkang anastiti, tan mangkana ing pamang gihira, den wulang ibu ramane, asilo anem ayun, wong tuwane kinaryo Gusti, lungo teko anembah iku budi luhung, serta bekti ing sukma, hiyo iku kang karyo pati lan urip, miwah sandhang lan pangan.

i. Kang wus kaprah nonoman samangke, anggulang polah, malang sumirang, ngisisaken ing wisese, andadar polah dlurung, mutingkrang polah mutingkring, matengkus polah tingkrak, kantara raganipun, lampahe same lelewa, yen gununggungsarirane anjenthit, ngorekken wong kathah.

j. Poma aja na nglakoni, ing sabarang polah ingkang salah tan wurung weleh polahe, kasuluh solahipun, tan kuwama solah kang silip, semune ingeseman ing sasaminipun, mulaneta awakingwang, poma aja na polah kang silip, samya brongta ing lampah.

k. Lawan malih wekas ingsun kaki, kalamun sira andarbe karsa, aja sira tinggal bote, murwaten lan ragamu, lamun derajatiro alit, aja ambek kuwawa, lamun siro luhur, den prawira anggepiro, dipun sabar jatmiko alus ing budi, iku lampah utama.

l. Pramilane nonoman puniki, dan teberi jagong lan wong tuwa, ingkang becik pituture, tan sira temahipun, apan bathin kalawan lahir, lahire tatakromo, bathine bekti mring tuhu, mula eta wekasing wong, sakathahe anak putu buyut mami, den samya brongta lampah.

Terjemahannya:
Pupuh I

a. Wulang sunu yang dibuat lagu, yang dimulai dengan tata cara berbakti, bergaul bersama orang tuanya, agar semuanya memperhatikan, petunjuk yang tertulis, siapa yang tidak mau menurut, pada petunjuk yang tertulis, niscaya akan tersia-sia, niscaya dunia akherat akan mendapat malapetaka, sesudah mati di neraka.

b. Bila nanti kamu melaksanakan petunjuk yang tertuang dalam serat pasti baik pada akhirnya berbakti kepada ibu bapak, ketika pertama kali diperlihatkan akan perbuatan baik dan buruk dari ibu bapak ketika kamu masih bayi, ibumu lebih sakit dan menderita memelihara kamu.

c. Tidak enak makan dan tidur, ibumu memelihara kamu walau hanya makan nasi garam walaupun hanya untuk membasahi kerongkongan , makan kelapa pun dilakukannya setiap hari mandi dan mencuci di sungai dengan langkah terseok-seok ibumu memelihara kamu ketika kecil untuk itu rasakanlah hal itu.

d. Keadaan pahit getir ibumu memelihara kamu dia tidur hanya sambilan meskipun penuh dengan air seni terkena tinja dilakukannya bila kamu buang air besar ditatur dan dipangku, dibersihkan oleh ibumu dimandikan setiap pagi dan sore sampai bersih, bila kamu lapar disuapi.

e. Ketika kamu berumur sembilan bulan, pada saat kamu bisa merangkak pekerjaan ibumu hanya menjagamu walau hanya memakai kain sambungan, memeliharamu ketika kamu masih kecil, bila kamu kurang makan, dicarikan sampai dapat, nanti kalau kamu sudah dewasa, tidak bisa pembalasanmu kecuali berbuat baik dan berbakti kepadanya.

f. Bila kamu nanti berbuat aniyaya terhadap orang tuamu, dihukum oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui, besok kalau mati niscaya akan kembali bersama api, kalau orang senang durhaka, siksanya sangat berat, maka aku berpesan jangan berani ibu bapak anakku, lakukan perintah keduanya.

g. Adapun kamu nanti, bila dididik ibu bapak ucapanmu sering berlawanan menyahut lalu berpaling, cegahlah itu anakku, tidak baik pada akhirnya, dunia akherat akan sia-sia, besok kalau mati dimusuhi Tuhan, disiksa oleh Malaikat.

h. Sedangkan anak muda yang baik, pendapatnya tidak begitu dididik ibi bapaknya, duduk bersila dihadapannya, orang tuanya bagaikan Tuhan, pergi pulang bersujud, itu adalah budi yang luhur serta berbakti kepada Tuhan Yang Maha Hidup yaitu yang menciptakan mati dan hidup serta pemberi sandang dan pangan.

i. Yang sudah kaprah bagi anak muda, bertingkah malang melintang memanjakan diri, bertingkah yang keterlaluan duduk seenaknya dan tak tahu kesopanan, berlaku congkak, senang memperlihatkan badannya, kelakuannya tidak terarah, bila badannya tersentuh menjingkat dan selalu membuat onar orang banyak.

j. Ingat-ingat jangan ada yang melakukan, segala tingkah yang salah, tingkahnya pasti akan terkuak (diketahui orang banyak), ia akan tersuluh dan tidak kuat menyandangnya, seolah-olah semua orang hanya melempar senyum, untuk itu anakku, ingatlah jangan ada yang berbuat salah agar hidupmu tidak mengalami kesusahan.

k. Ada lagi nasehatku anakku, bila kamu mempunyai kehendak jangan sampai memberatkan diri, jagalah badanmu, bila derajatmu kecil, jangan merasa pesimis, bila kamu menjadi orang luhur, tegakkanlah pendapatmu, bersabar dengan kehalusan, budi, itulah perbuatan yang utama.

l. Maka dari itu kaum muda sekarang bersabarlah, bergaul dengan orang tua, perhatikanlah petunjuknya yang baik, dari lahir sampai batin, lahir dengan tatakrama, batinnya dengan berbakti kepadanya, itulah nasehatku semua anak cucu cicitku, agar hidupmu tidak mengalami kesusahan


SERAT JOKOLODANG

Gambuh
1. Jaka Lodang gumandhul, Praptaning ngethengkrang sru muwus, Eling-eling pasthi karsaning Hyang Widhi, Gunung mendhak jurang mbrenjul, Ingusir praja prang kasor

Joko Lodang datang berayun-ayun diantara dahan-dahan pohon, kemudian duduk tanpa kesopanan dan berkata dengan keras. Ingat-ingatlah sudah menjadi kehendak Tuhan bahwa gunung-gunung yang tinggi itu akan merendah sedangkan jurang yang curam akan tampil kepermukaan (akan terjadi wolak waliking jaman), karena kalah perang maka akan diusir dari negerinya.

2.Nanging awya kliru, Sumurupa kanda kang tinamtu, Nadyan mendak mendaking gunung wis pasti, Maksih katon tabetipun, Beda lawan jurang gesong

Namun jangan salah terima menguraikan kata-kata ini. Sebab bagaimanapun juga meskipun merendah kalau gunung akan tetap masih terlihat bekasnya. Lain sekali dengan jurang yang curam.

3. Nadyan bisa mbarenjul, Tanpa tawing enggal jugrugipun, Kalakone karsaning Hyang wus pinasti, Yen ngidak sangkalanipun, Sirna tata estining wong

Jurang yang curam itu meskipun dapat melembung, namun kalau tidak ada tanggulnya sangat rawan dan mudah longsor. (Ket. Karena ini hasil sastra maka tentu saja multi dimensi. Yang dimaksud dengan jurang dan gunung bukanlah pisik tetapi hanyalah sebagai yang dilambangkan). Semuanya yang dituturkan diatas sudah menjadi kehendak Tuhan akan terjadi pada tahun Jawa 1850. (Sirna=0, Tata=5, Esthi=8 dan Wong=1). Tahun Masehi kurang lebih 1919-1920.

Sinom
1. Sasedyane tanpa dadya, Sacipta-cipta tan polih, Kang reraton-raton rantas, Mrih luhur asor pinanggih
Bebendu gung nekani, Kongas ing kanistanipun, Wong agung nis gungira, Sudireng wirang jrih lalis, Ingkang cilik tan tolih ring cilikira

Waktu itu seluruh kehendaki tidak ada yang terwujud, apa yang dicita-citakan buyar, apa yang dirancang berantakan, segalanya salah perhitungan, ingin menang malah kalah, karena datangnya hukuman (kutukan) yang berat dari Tuhan. Yang tampak hanyalah perbuatan - perbuatan tercela. Orang besar kehilangan kebesarannya, lebih baik tercemar nama daripada mati,sedangkan yang kecil tidak mau mengerti akan keadaannya.

2. Wong alim-alim pulasan, Njaba putih njero kuning, Ngulama mangsah maksiat, Madat madon minum main, Kaji-kaji ambataning, Dulban kethu putih mamprung, Wadon nir wadorina, Prabaweng salaka rukmi
Kabeh-kabeh mung marono tingalira

Banyak orang yang tampaknya alim, tetapi hanyalah semu belaka. Diluar tampak baik tetapi didalamnya tidak. Banyak ulama berbuat maksiat. Mengerjakan madat, madon minum dan berjudi. Para haji melemparkan ikat kepala hajinya. Orang wanita kehilangan kewanitaannya karena terkena pengaruh harta benda. Semua saja waktu itu hanya harta bendalah yang menjadi tujuan.

3. Para sudagar ingargya, Jroning jaman keneng sarik, Marmane saisiningrat, Sangsarane saya mencit, Nir sad estining urip, Iku ta sengkalanipun, Pantoging nandang sudra, Yen wus tobat tanpa mosik, Sru nalangsa narima ngandel ing suksma,

Hanya harta bendalah yang dihormati pada jaman tersebut. Oleh karena itu seluruh isi dunia penderitaan kesengsaraannya makin menjadi-jadi. Tahun Jawa menunjuk tahun 1860 (Nir=0, Sad=6, Esthining=8, Urip=1). Tahun Masehi kurang lebih tahun 1930. Penghabisan penderitaan bila semua sudah mulai bertobat dan menyerahkan diri kepada kekuasaan Tuhan seru sekalian alam.

Megatruh
1. Mbok Parawan sangga wang duhkiteng kalbu, Jaka Lodang nabda malih, Nanging ana marmanipun, Ing waca kang wus pinesthi, Estinen murih kelakon

Mendengar segalanya itu Mbok Perawan merasa sedih. Kemudian Joko Lodang berkata lagi : "Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab musabab, didalam ramalan yang sudah ditentukan haruslah diusahakan supaya segera dan dapat terjadi ".

2. Sangkalane maksih nunggal jamanipun, Neng sajroning madya akir, Wiku Sapta ngesthi Ratu, Adil parimarmeng dasih, Ing kono kersaning Manon

Jamannya masih sama pada akhir pertengahan jaman. Tahun Jawa 1877 (Wiku=7, Sapta=7, Ngesthi=8, Ratu=1). Bertepatan dengan tahun Masehi 1945. Akan ada keadilan antara sesama manusia. Itu sudah menjadi kehendak Tuhan.

3. Tinemune wong ngantuk anemu kethuk, Malenuk samargi-margi, Marmane bungah kang nemu, Marga jroning kethuk isi, Kencana sesotya abyor,

Diwaktu itulah seolah-olah orang yang mengantuk mendapat kethuk (gong kecil), yang berada banyak dijalan. Yang mendapat gembira hatinya sebab didalam benda tersebut isinya tidak lain emas dan kencana.



SERAT SABDATAMA
karya R. Ng. Ronggowarsito

Gambuh
1. Rasaning tyas kayungyun, Angayomi lukitaning kalbu, Gambir wanakalawan hening ing ati, Kabekta kudu pitutur, Sumingkiring reh tyas mirong

Tumbuhlah suatu keinginan melahirkan perasaan dengan hati yang hening disebabkan ingin memberikan petuah-petuah agar dapat menyingkirkan hal-hal yang salah.

2. Den samya amituhu, Ing sajroning Jaman Kala Bendu, Yogya samyanyenyuda hardaning ati, Kang anuntun mring pakewuh, Uwohing panggawe awon

Diharap semuanya maklum bahwa dijaman Kala Bendu
sebaiknya mengurangi nafsu pribadi yang akan membenturkan kepada kerepotan. Hasilnya hanyalah perbuatan yang buruk.

3.Ngajapa tyas rahayu, Nyayomana sasameng tumuwuh, Wahanane ngendhakke angkara klindhih, Ngendhangken pakarti dudu, Dinulu luwar tibeng doh

Sebaiknya senantiasa berbuat menuju kepada hal-hal yang baik. Dapat memberi perlindungan kepada siapapun juga. Perbuatan demikian akan melenyapkan angkara murka, melenyapkan perbuatan yang bukan-bukan dan terbuang jauh.

4. Beda kang ngaji mumpung, Nir waspada rubedane tutut, Kakinthilan manggon anggung atut wuri, Tyas riwut ruwet dahuru, Korup sinerung agoroh

Hal ini memang lain dengan yang ngaji pumpung. Hilang kewaspadaannya dan kerepotanlah yang selalu dijumpai, selalu mengikuti hidupnya. Hati senantiasa ruwet karena selalu berdusta.

5. Ilang budayanipun, Tanpa bayu weyane ngalumpuk, Sakciptane wardaya ambebayani, Ubayane nora payu, Kari ketaman pakewoh

Lenyap kebudayaannya. Tidak memiliki kekuatan dan ceroboh. Apa yang dipikir hanyalah hal-hal yang berbahaya. Sumpah dan janji hanyalah dibibir belaka tidak seorangpun mempercayainya. Akhirnya hanyalah kerepotan saja.

6. Rong asta wus katekuk, Kari ura-ura kang pakantuk, Dandanggula lagu palaran sayekti, Ngleluri para leluhur, Abot ing sih swami karo

Sudah tidak berdaya. Hanya tinggallah berdendang.
Mendendangkan lagu dandang gula palaran hasil karya nenek moyang dahulu kala, betapa beratnya hidup ini seperti orang dimadu saja.

7. Galak gangsuling tembung, Ki Pujangga panggupitanipun, Rangu-rangu pamanguning reh harjanti, Tinanggap prana tumambuh, Katenta nawung prihatos

Ki Pujangga didalam membuat karyanya mungkin ada kelebihan dan kekurangannya. Olah karena itu ada perasaan ragu-ragu dan khawatir, barangkali terdapat kesalahan / kekeliruan tafsir, sebab sedang prihatin.

8. Wartine para jamhur, Pamawasing warsita datan wus, Wahanane apan owah angowahi, Yeku sansaya pakewuh, Ewuh aya kang linakon

Menurut pendapat para ahli, wawasan mereka keadaan selalu berubah-ubah. Meningkatkan kerepotan apa pula yang hendak dijalankan.

9. Sidining Kala Bendu, Saya ndadra hardaning tyas limut, Nora kena sinirep limpating budi, Lamun durung mangsanipun, Malah sumuke angradon

Azabnya jaman Kala Bendu, makin menjadi-jadi nafsu angkara murka. Tidak mungkin dikalahkan oleh budi yang baik. Bila belum sampai saatnya akibatnya bahkan makin luar biasa.

10. Ing antara sapangu, Pangungaking kahanan wus mirud, Morat-marit panguripaning sesami, Sirna katentremanipun, Wong udrasa sak anggon-anggon

Sementara itu keadaan sudah semakin tidak karu-karuwan,
penghidupan semakin morat-marit, tidak ketenteraman lagi, kesedihan disana-sini.

11. Kemang isarat lebur, Bubar tanpa daya kabarubuh, Paribasan tidhem tandhaning dumadi, Begjane ula dahulu, Cangkem silite angaplok

Segala dosa dan cara hancur lebur, seolah-olah hati dikuasai ketakutan. Yang beruntung adalah ular berkepala dua, sebab kepala serta buntutnya dapat makan.

12. Ndhungkari gunung-gunung, Kang geneng-geneng padha jinugrug, Parandene tan ana kang nanggulangi, Wedi kalamun sinembur, Upase lir wedang umob

Gunung-gunung digempur, yang besar-besar dihancurkan meskipun demikian tidak ada yang berani melawan. Sebab mereka takut kalau disembur (disemprot ular) berbisa. Bisa racun ular itu bagaikan air panas.

13. Kalonganing kaluwung, Prabanira kuning abang biru, Sumurupa iku mung soroting warih, Wewarahe para Rasul, Dudu jatining Hyang Manon

Tetapi harap diketahui bahwa lengkungan pelangi yang berwarna kuning merah dan biru sebenarnya hanyalah cahaya pantulan air. Menurut ajaran Nabi itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya.

14. Supaya pada emut, Amawasa benjang jroning tahun, Windu kuning kono ana wewe putih, Gegamane tebu wulung, Arsa angrebaseng wedhon

Agar diingat-ingat. Kelak bila sudah menginjak tahun windu kuning (Kencana) akan ada wewe putih (setan putih), yang bersenjatakan tebu hitam akan menghancurkan wedhon (pocongan setan). (Sebuah ramalan yang perlu dipecahkan).

15. Rasa wes karasuk, Kesuk lawan kala mangsanipun, Kawises kawasanira Hyang Widhi, Cahyaning wahyu tumelung, Tulus tan kena tinegor

Agaknya sudah sampai waktunya, karena kekuasaan Tuhan telah datang jaman kebaikan, tidak mungkin dihindari lagi.

16, Karkating tyas katuju, Jibar-jibur adus banyu wayu, Yuwanane turun-temurun tan enting, Liyan praja samyu sayuk, Keringan saenggon-enggon

Kehendak hati pada waktu tersebut hanya didasarkan kepada ketentraman sampai ke anak cucu. Negara-negara lain rukun sentosa dan dihormati dimanapun.


SERAT KALATIDA

Sinom
1. Mangkya darajating praja, Kawuryan wus sunyaturi, Rurah pangrehing ukara, Karana tanpa palupi, Atilar silastuti, Sujana sarjana kelu, Kalulun kala tida, Tidhem tandhaning dumadi, Ardayengrat dene karoban rubeda

Keadaan negara waktu sekarang, sudah semakin merosot. Situasi (keadaan tata negara) telah rusah, karena sudah tak ada yang dapat diikuti lagi. Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/aturan-aturan lama. Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan). Suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.

2. Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Paranedene tan dadi, Paliyasing Kala Bendu, Mandar mangkin andadra, Rubeda angrebedi, Beda-beda ardaning wong saknegara

Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik, Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik, namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan. Oleh karena daya jaman Kala Bendu. Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi. Lain orang lain pikiran dan maksudnya.

3.Katetangi tangisira, Sira sang paramengkawi, Kawileting tyas duhkita, atamen ing ren wirangi, Dening upaya sandi, Sumaruna angrawung, Mangimur manuhara, Met pamrih melik pakolih, Temah suka ing karsa tanpa wiweka

Waktu itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan, mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang. Tampaknya orang tersebut memberi harapan menghibur sehingga sang Pujangga karena gembira hatinya dan tidak waspada.

4.Dasar karoban pawarta, Bebaratun ujar lamis, Pinudya dadya pangarsa, Wekasan malah kawuri, Yan pinikir sayekti, Mundhak apa aneng ngayun, Andhedher kaluputan, Siniraman banyu lali, Lamun tuwuh dadi kekembanging beka

Persoalannya hanyalah karena kabar angin yang tiada menentu. Akan ditempatkan sebagai pemuka tetapi akhirnya sama sekali tidak benar, bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali. Sebenarnya kalah direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemuka/pemimpin ? Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja. Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan.

5. Ujaring panitisastra, Awewarah asung peling, Ing jaman keneng musibat, Wong ambeg jatmika kontit, Mengkono yen niteni, Pedah apa amituhu, Pawarta lolawara, Mundhuk angreranta ati, Angurbaya angiket cariteng kuna

Menurut buku Panitisastra (ahli sastra), sebenarnya sudah ada peringatan. Didalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang berbudi tidak terpakai. Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik membuat karya-karya kisah jaman dahulu kala.

6. Keni kinarta darsana, Panglimbang ala lan becik, Sayekti akeh kewala, Lelakon kang dadi tamsil, Masalahing ngaurip, Wahaninira tinemu, Temahan anarima, Mupus pepesthening takdir Puluh-Puluh anglakoni kaelokan

Membuat kisah lama ini dapat dipakai kaca benggala, guna membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul. Sebenarnya banyak sekali contoh -contoh dalam kisah-kisah lama, mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, akhirnya "nrima" dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan. Yah segalanya itu karena sedang mengalami kejadian yang aneh-aneh.

7. Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada

Hidup didalam jaman edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.

8. Semono iku bebasan, Padu-padune kepengin, Enggih mekoten man Doblang, Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin, Sejatine nyamut-nyamut, Wis tuwa arep apa, Muhung mahas ing asepi, Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma

Yah segalanya itu sebenarnya dikarenakan keinginan hati. Betul bukan ? Memang benar kalau ada yang mengatakan demikian. Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua, apa pula yang dicari. Lebih baik menyepi diri agar mendapat ampunan dari Tuhan.

9.Beda lan kang wus santosa, Kinarilah ing Hyang Widhi, Satiba malanganeya, Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung, Marga samaning titah, Rupa sabarang pakolih, Parandene maksih taberi ikhtiyar

Lain lagi bagi yang sudah kuat. Mendapat rakhmat Tuhan. Bagaimanapun nasibnya selalu baik. Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah. Namun demikian masih juga berikhtiar.

10. Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati, Angger tan dadi prakara, Karana riwayat muni, Ikhtiyar iku yekti, Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya, Kanthi awas lawan eling, Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma

Apapun dilaksanakan. Hanya membuat kesenangan pokoknya tidak menimbulkan persoalan. Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu wajib ikhtiar, hanya harus memilih jalan yang baik. Bersamaan dengan usaha tersebut juga harus awas dan waspada agar mendapat rakhmat Tuhan.

11. Ya Allah ya Rasulullah, Kang sipat murah lan asih, Mugi-mugi aparinga, Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir, Dumununging gesang ulun, Mangkya sampun awredha, Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan

Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih, mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat menjelang akhir ini. Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana. Hanya Tuhanlah yang mampu menolong kami.

12. Sageda sabar santosa, Mati sajroning ngaurip, Kalis ing reh aruraha, Murka angkara sumingkir, Tarlen meleng malat sih, Sanityaseng tyas mematuh, Badharing sapudhendha, Antuk mayar sawetawis, BoRONG angGA saWARga meSI marTAya

Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa, seolah-olah dapat mati didalam hidup. Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan. Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat ampunan sekedarnya. Kemudian kami serahkan jiwa dan raga dan kami




SERAT SABDOJATI

Megatruh
1. Hawya pegat ngudiya RONGing budyayu, MarGAne suka basuki, Dimen luWAR kang kinayun, Kalising panggawe SIsip, Ingkang TAberi prihatos

Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan, agar mendapat kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-cita, terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.

2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh, Galedehan kang sayekti, Talitinen awya kleru, Larasen sajroning ati, Tumanggap dimen tumanggon

Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama, intropeksi, telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati, agar mudah menanggapi sesuatu.

3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu, Angayomi ing tyas wening, Eninging ati kang suwung, Nanging sejatining isi, Isine cipta sayektos

Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan, mengendapkan pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini kosong namun sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.

4. Lakonana klawan sabaraning kalbu, Lamun obah niniwasi, Kasusupan setan gundhul, Ambebidung nggawa kendhi, Isine rupiah kethon

Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran. Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan) akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul, yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.

5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu, Dadi panggonaning iblis, Mlebu mring alam pakewuh, Ewuh mring pananing ati, Temah wuru kabesturon

Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan, sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik, seolah-olah mabuk kepayang.

6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu, Hayuning tyas sipat kuping, Kinepung panggawe rusuh, Lali pasihaning Gusti, Ginuntingan dening Hyang Manon

Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan yang menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya, sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek. Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.

7. Parandene kabeh kang samya andulu, Ulap kalilipen wedhi, Akeh ingkang padha sujut, Kinira yen Jabaranil, Kautus dening Hyang Manon

Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir, tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan.

8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh, Kewuhan sajroning ati, Yen tiniru ora urus, Uripe kaesi-esi, Yen niruwa dadi asor

Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot didalam pikiran melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan tercela akhirnya menjadi sengsara.

9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, Anggelar sakalir-kalir, Kalamun temen tinemu, Kabegjane anekani, Kamurahane Hyang Manon

Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan langit, siapa yang berusaha dengan setekun - tekunnya akan mendapatkan kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.

10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun, Yen temen-temen sayekti, Dewa aparing pitulung Nora kurang sandhang bukti, Saciptanira kelakon

Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati. Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.

11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur, Saka pengunahing Widi, Ambuka warananipun, Aling-aling kang ngalingi, Angilang satemah katon

Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.

12. Para jalma sajroning jaman pakewuh, Sudranira andadi, Rahurune saya ndarung, Keh tyas mirong murang margi, Kasekten wus nora katon

Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan, cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela, makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan diatas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.

13. Katuwane winawas dahat matrenyuh, Kenyaming sasmita sayekti, Sanityasa tyas malatkunt, Kongas welase kepati, Sulaking jaman prihatos

Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan tersebut, senantiasa merenung diri melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.

14. Waluyane benjang lamun ana wiku, Memuji ngesthi sawiji, Sabuk tebu lir majenum, Galibedan tudang tuding, Anacahken sakehing wong

Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877 (Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945). Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila, hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.

15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu, Kala Suba kang gumanti, Wong cilik bisa gumuyu, Nora kurang sandhang bukti, Sedyane kabeh kelakon

Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba. Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.

16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput, Mulur lir benang tinarik, Nanging kaseranging ngumur, Andungkap kasidan jati, Mulih mring jatining enggon

Sayang sekali "pengelihatan" Sang Pujangga belum sampai selesai, bagaikan menarik benang dari ikatannya. Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.

17.Amung kurang wolung ari kang kadulu, Tamating pati patitis, Wus katon neng lokil makpul, Angumpul ing madya ari, Amerengi Sri Budha Pon

Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, sudah sampai waktunya, kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.

18. Tanggal kaping lima antarane luhur, Selaning tahun Jimakir, Taluhu marjayeng janggur, Sengara winduning pati, Netepi ngumpul sak enggon

Tanggal 5 bulan Sela (Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu, Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873) kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.

19. Cinitra ri budha kaping wolulikur, Sawal ing tahun Jimakir, Candraning warsa pinetung, Sembah mekswa pejangga ji, Ki Pujangga pamit layoti

Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802. (Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1) bertepatan dengan tahun masehi 1873).



SULUK SUJINAH

Isi teks tentang ajaran tasawuf atau mistik, amanat teks Suluk Sujinah dituangkan dalam bentuk dialog antara tokoh Purwaduksina sebagai suami dengan tokoh utama Ken Sujinah sebagai istri. Dialog yang disampaikan menyangkut : asal mula manusia, kewajiban, tujuan dan hakikat hidup menurut agama Islam, khususnya ajaran tasawuf.Diterangkan tahap-tahap yang harus dilalui manusia dalam upaya agar bisa luluh kembali kepada Tuhan. Tokoh Purwaduksina memberikan ajaran kepada istrinya, Dewi Sujinah mengenai : Rukun Islam, Empat Kiblat, Baitullah, Asma Allah, Takbiratul Ihram dan sebagainya.Dilukiskan mengenai hakikat perkawinan, hakikat sholat, sifat Tuhan, letakNYA, macam-macam bertapa, uraian tentang tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit, tentang anugerah Tuhan, pertalian manusia dengan Tuhan dan petunjuk-petunjuk agar manusia agar manusia mematuhi ajaran utama.

Empat tahap yan harus dilalui oleh salik dalam mendekati sang Khalik, ialah :

1. Syariat 2. Tarekat 3. Hakikat 4. Makrifat

Wujud iman ada pada diri sendiri dan merupakan hakikat kehendak sejati, sedangkan tauhid adalah mata roh yang memandang terpusat kepada Allah. Makrifat adalah saat bertemunya makhluk dengan Khalik.

Ada empat watak yang tidak terpuji yang harus dijauhi yaitu :

1. Jubriya atau sombong 2. Takabur atau keras kepala 3. Kibir atau mengandalkan kekuatan 4.Sumengah atau watak tidak terpuji.

Orang yang berilmu sejati tidak akan sakit apabila dicela, dan tidak bangga jika disanjung dalam menghadapi rintangan hidup hendaknya tetap teguh. Menuntut ilmu sejati harus didasari kesucian hati, jangan menganggap dirinya merasa lebih dan jangan pula meremehkan orang lain. Janganlah menganggap orang lebih rendah dan jangan pula mencari kejelekkan atau kekurangannya. Cara untuk menghilangkan watak tidak terpuji dapat ditempuh dengan dua cara sebagai berikut :

1. Sadarlah bahwa manusia itu sama, baik tua maupun muda, tinggi rendah, maupun kaya miskin, kesemuanya adalah mahkluk Tuhan. Jika sering mencampuri urusan orang lain dan mencelanya, sama saja dengan mencela Tuhan.

2. Manusia hendaklah mencamkan sabda dalam Alquran, dengan bekal mencamkan sabda tersebut ia akan dijauhkan dari sifat takabur. Manusia pada dasarnya adalah mahkluk yang lemah, ia ibarat wayang yang digerakkan oleh dalang.

Seseorang yang hanya terhenti pada tahap Syariat diibaratkan sebagai berdagang madu atau gula, dalam mengarungi samudera kehidupan manusia pastia akan mengalami berbagai rintangan yang tidak cukup diatasi dengan banyak bicara saja tanpa disertai perbuatan amal. Pada tingkat Tarekat manusia diibaratkan mati didalam hidup dan hidup dalam kematian, ia harus bersikap rendah, tidak gemar cekcok dan menyadari bahwa setiap harinya manusia selalu harus pandai-pandai memerangi gejolak hawa nafsu yang kan menjerumuskan kepada ketersesatan. Ia harus mematuhi nilai-nilai pergaulan dalam masyarakat, mempunyai watak terpuji ( sabar, penuh pengertian, berbudi luhur, tidak cenderung mencela dan mencampuri urusan orang lain, jujur, tulus ikhlas, tidak angkuh dan tidak iri )dan bersyukur atas apa yang telah dicapai berkat rida Tuhan.

Tahapan Hakikat manusia telah mengenal jati dirinya yang dilambangkan terdiri atas tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit sebagai kelengkapan suatu ilmu. Manusia yang telah memahami ilmu Tuhan, tidak berpikiran sempit, tidak kerdil atau fanatik dan tidak pula takabur. Ia justru bersikap tenggang rasa dan hormat menghormati keyakinan orang lain. Orang yang telah mencapai Makrifat kalbu dan rasanya telah luluh, menyatu dengan Tuhan, ia sudah tidak sedih atau menderita akibat pasang surutnya kehidupan, jiwanya stabil, tutur kata dan tingkah laku di dunia menjadi saksi keangungan-NYA.


DARMAGANDHUL

Darmagandhul, karya sastra Jawa klasik, berbahasa Jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Suluk ini ditulis oleh Ki Kalamwadi, waktu penulisan hari sabtu legi, 23 ruwah 1830 Jawa. Amanat ajaran dalam teks dituangkan dalam bentuk dialaog antara Ki Kalamwadi dengan Darmagandhul, isi teks menceritakan jatuhnya kerajaan Majapahit karena serbuan tentara Demak Bintara yang dibantu para wali.

Ki Kalamwadi berguru kepada Reden Budi, sementara Raden Budi mempunyai murid bernama Darmagandhul. Darmagandhul menanyakan kepada gurunya mengenai kapan agama Islam itu datang di pulau Jawa. Ki Kalamwadi menjawab bahwa pada zaman Majapahit saat pemerintahan Prabu Brawijaya, permaisuri Prabu Brawijaya membujuk agar beliau beralaih ke agama Islam. Sayid Rahmat atau Sunan Bonang, kemenakan permaisuri Prabu Brawijaya yang berasal dari Campa, diberi tanah di Tuban dan diizinkan untuk menyebarkan agama Islam. Daerah penyebarannya sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Blambangan sampai Banten. Kemudian datanglah Raden Patah, yakni putra Prabu Brawijaya yang lahir di tanah Palembang, yang diberi tanah Demak dan sebagai adipati, juga diizinkan menyebarkan agama Islam. Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Bonang di daerah Kediri mendapatkan tantangan dari Ki Buta Locaya penguasa di daerah tersebut. Kemudian Sunan Bonang menuju ke desa Bogem, dan merusak arca kuda berkepala dua karya Prabu Jayabaya. Perusakan arca tersebut mendapatkan tentangan Ki Buta Locaya yang mendesak agar Sunan Bonang pergi dari daerah itu. Patih Gajah Mada menghadap Prabu Brawijaya dan memberitahukan bahwa tanah Kertasana rusak akibat perbuatan Sunan Bonang. Akhirnya, Prabu Brawijaya memerintahkan agar mengusir kaum Islam dari daerah Majapahit, kecuali kaum muslimin yang tinggal di Ngampelgading dan Demak, Sunan Bonang dan Sunan Giri menyingkir ke Tuban dan berlindung ke Demak.

Perlawanan antara pasukan Prabu Brawijaya dengan Sultan Demak , dalam pertempuran sengit itu tentara Majapahit hancur, Gajah Mada gugur di medan laga. Kemudian orang-orang Majapahit yang takluk kepada Demak diperintahkan masuk agama Islam. Akhirnya Sultan Patah yang didukung oleh para wali pergi ke Ngampeldenta untuk menghadap neneknya. Neneknya Nyai Ngampeldenta sangat menyesal perbuatan yang dilakukan oleh Sultan Patah dalam melawan ayahnya.

Ia mempermasalahkan Sultan Patah beserta para wali yang tidak baik misalnya budi kepada Prabu Brawijaya. Ia memberikan beberapa contoh yang tidak baik misalnya kejadian di Mesir yang dialami Nabi Daud, perebutan kekuasaan yang dilakukan Prabu Dewatacengkar terhadap ayahnya, Prabu Sindhula dan peristiwa Prabu Danapati raja Lokapala melawan ayahnya, Sang resi Wisrawa.

Contoh-contoh tersebut merupakan permusuhan antara anak melawan ayahnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Sultan Patah terhadap Prabu Brawijaya. Dengan adanya penjelasan dari neneknya tadi, maka Sultan Patah sangat sedih dan menyesal atas segala perbuatannya. Ahkirnya Sunan Kalijaga diutus untuk mencari Prabu Brawijaya dan memohon kepadanya agar bersedia kembali menjadi raja Majapahit. Sekembalinya Sultan Patah ke Demak di sambut dengan gembira. Ia menceritakan hal itu kepada Sunan Bonang, akhirnya Sunan Bonang memberikan penjelasan secara panjang lebar bahwa perlawanannya terhadap ayahnya itu tidak berdosa, karena ayahnya seorang kafir.

Sunan Kalijaga menjumpai Prabu Brawijaya di Blambangan untuk menyampaikan tugasnya. Karena kepandaian Sunan Kalijaga maka bersedialah Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit. Ia sangat tertarik atas keterangan Sunan sehingga prasangka buruk akan agama Islam sedikit banyak hilang. Bahkan ia bermaksud untuk masuk agama Islam secara lahir maupun batin.

Penyebaran agama Islam terhadap punakawan Prabu Brawijaya, yakni Sabdapalon dan Nayagenggong, yang berakhir dengan penolakan ( tidak berhasil ) Sabdapalon menilai bahwa Prabu Brawijaya telah menyimpang dari para pendahulunya yang melestarikan agama Budha. Sunan Kalijaga berusaha menghibur hati Prabu Brawijaya utuk bahwa ajaran agama Islam itu baik dan diridhoi Tuhan. Sunan bersabda bahwa air telaga itu berbau wangi, dan terjadilah demikian. Setelah selama seminggu dalam perjalanan yang melewati Panarukan, Besuki dan Prabalingga akhirnya sampailah di Ngampeldenta.

Jatuhnya Kerajaan Majapahit atas serangan Demak yang dilukiskan secara simbolis. Darmagandhul juga minta penjelasan tentang agama Nasrani yang kemudian dijelaskan oleh Kalamwadi. Disebutkan bahwa agama Nasrani itu dibawa oleh Nabi Ngisa, Putra Tuhan. Dijelaskan pula, bahwa sebenarnya Sultan Demak merasa menyesal atas penyerbuannya ke Kerajaaan Majapahit. Ia merasa berdosa melawan ayahnya. Bahkan ia merasa pula bahwa pengangkatannya sebagai Sultan Demak itu juga dari ayahnya. Akan tetapi semuanya telah terjadi, maka Sultan Demak dengan bersedih hati kembali ke Demak. Darmagandhul menguraikan tentang sebab-sebab Nabi Adam dan Ibu Kawa turun dari surga terkena marah Tuhan. Darmagandhul tidak mengetahui bagaimana pandangan kitab Jawa tentang Nabi Adam itu. Ki Kalamwadi menjelaskan bahwa orang Jawa tidak mempunyai kitab yang menceritakan tentang pengusiran Tuhan terhadap Nabi Adam dan Ibu Kawa itu. Kitab yang menjadi pegangan raja hanyalah Manikmaya. Darmagandhul juga menguraikan pendapatnya bahwa baginda, baik agama itu harus konsekuen mengerjakan peraturan yang ada di dalamnya. Namun, yang paling baik bagi orang Jawa adalah agama Budi, sebab agama Budi telah dianut sejak dahulu kala.

Perbedaan agama Islam, Nasrani, Cina dan Jawa. Ki Kalamwadi mencela orang yang naik haji ke Mekah dengan mengharapkan kelak masuk surga. Konon ada anggapan bahwa yang datang naik haji ke Mekah dan mencium kakbah akan terhapus dosanya dan nantinya masuk surga. Hal itu itu tidaklah benar. Orang akan masuk surga apabila dirinya bersih. Perbedaan adanya utusan dan kitab yang menjadi pegangan itu berbeda. Kalamwadi menjawab bahwa itulah kebebasan yang diberikan Tuhan agar manusia memilih agama yang menjadi kesenangannya. Meskipun demikian, agama Budi bagi orang Jawa tetap lebih tinggi dan sesuai.

Kalamwadi membentangkan ajaran itu kepada istrinya, Perjiwati, mengenai hal keutamaan dalam hidup dan mengenai ajaran perkawinan. Bekal perkawinan itu bukannya rupa dan harta akan tetapi hati. Perkawinan diibaratkan sebagai galah dan kemudi, yang masing-masing harus sejalan. Diuraikan pula mengenai 4 kemuliaan, yaitu: (1) kemuliaan yang lahir dari diri sendiri, (2) yang lahir dari harta benda pemilik, (3) kemuliaan karena kepandaiannya, (4) kemuliaan karena pengetahuannya. Generasi sekarang tidak boleh meremehkan generasi pendahulunya (orang kuna).

Menurut Ki Kalamwadi disebutkan bahwa bekas kerajaan Prabu Brawijaya tidak terletak di Kediri, akan tetapi terletak di Daha. Akhir kehidupannya, Prabu Jayabaya muksa diiringkan oleh Patih Tunggulwulung dan Nimas Ratu pagedhongan. Tunggulwulung diperintahkan menjaga Gunung Kelud sedangkan Nimas ratu Pegendhongan menjadi raja jin penguasa laut selatan dengan gelar Ratu Angin-Angin.



SERAT GATHOLOCO

Gatholoco, suluk karya sastra Jawa klasik, berbahasa Jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Waktu penulisan pada hari senin. Pahing tanggal, 8 Jumadilawal 1962 Jawa. Isi teks menceritakan perbincangan atau perdebatan antara Gatholoco dengan Dewi Perjiwati mengenai hakikat pria-wanita, perilaku dalam asmaragama dan asal terjadinya benih manusia.

Tokoh Gatholoco digambarkan sebagai seorang anak raja Suksmawisesa dari kerajaan Jajarginawe yang berparas jelek sekali. Ia mempunyai seorang hamba yang sangat setia, bernama Darmagandhul yang tidak kalah jeleknya dari dirinya. Gatholoco disuruh bertapa oleh ayahnya agar ia menjadi orang yang sangat pandai berdebat, pandai tulis-menulis, dan pandai berhitung tanpa guru. Kelak ia akan mendapat lawan tangguh dalam berdebat mengenai kawruh kasunyatan “ Ilmu Sejati “ yang bernama Dewi Perjiwati.

Diceritakan tentang tiga orang guru mengaji, yaitu Abduljabar, Abdulmanab, Abdulgharib. Ketiganya amat fasih dalam membaca Al Quran, Fikih dan Nahwu. Mereka berjumpa dengan Gatholoco dalam perjalanan sewaktu mencari lawan berdebat tentang ilmu yang dikuasinya. Terjadilah perdebatan antara ketiga guru mengaji tersebut dengan Gatholoco. Perdebatan meliputi tentang arti orang yang memiliki ilmu, haram, atau najis dan arti halal. Gatholoco memenangkan perdebatan dan akhirnya mengajak mereka berteka-teki.

Teka-teki Gatholoco mengenai : wayang, dalang, blencong, dan kelir. Dari keempat itu manakah yang lebih tua ? perdebatan dimenangkan oleh Gatholoco. Ia menerangkan juga tentang hakikat : wayang, dalang, kelir, blencong dan gamelan. Ketiga guru mengaji itu akhirnya meninggalkan Gatholoco dan menuju Cepekan. Di Cepekan terdapat tiga orang guru mengaji, yaitu : Kasan Mustahal, Kasan Besari, dan Ki Duljalal. Mereka ini didatangi oleh ketiga ketiga orang guru mengaji yang kalah berdebat dengan Gatholoco. Mereka menceritakan tentang kekalahan dalam perdebatan. Gatholoco dicari dan diajaknya ke Pondok Cepekan untuk diajak berdebat tentang ilmu sejati. Perdebatan antara Gatholoco dengan ketiga orang guru mengaji di Pondok Cepekan berlanjut. Akhirnya dimenangkan oleh Gatholoco, karena mereka kalah, maka diusirlah Gatholoco dari pondok tersebut. Pada mulanya Gatholoco tidak mau pergi kalau tidak diberi uang. Akhirnya, ia meninggalkan pondok tersebut untuk melanjutkan pengembaraannya.

Perjalanan Gatholoco sampai di gunung Endragiri dan bertemu dengan seorang pertapa yang bernama Dewi Perjiwati yang di dampingi oleh para emban dan cantriknya. Sebelum bertemu dengan Dewi Perjiwati terpaksa harus menghadapi para emban dan cantriknya yang mendampinginya. Para emban dan cantrik tersebut memberikan teka-teki untuk dijawab oleh Gatholoco. Ternyata teka-teki yang diberikan dapat dijawab oleh Gatholoco dengan baik, kemudian Gatholoco dapat bertemu dengan Dewi Perjiwati, maka terjadilah tanya jawab. Pertanyaan yang diajukan oleh Dewi Perjiwati adalah tentang arti kalimah Sahadat, arti pria-wanita dan suaimi istri. Apabila Gatholoco dapat menebak dengan betul maka sebagai imbalannya adalah Dewi Perjiwati bersedia menjadi istrinya. Ternyata Gatholoco dapat memenangkan perdebatan tersebut sehingga Dewi Perjiwati terpaksa mau menjadi istri Gatholoco walaupun dengan berat hati. Para emban dan cantrik memberikan saran agar Gatholoco diajaknya masuk ke gua, setelah sampai di dalamnya maka pintu gua segera ditutup.

Darmagandhul, hamba setia Gatholoco memperingatkan tetapi tidak dihiraukan , ia mengalami pingsan di dalam gua. Setelah sampai diluar ia baru sadar bahwa telah terjebak oleh tipu Dewi Perjiwati. Karena merasa terjebak, maka Gatholoco merasa malu, akhirnya ia masuk kembali ingin berperang dengan Dewi Perjiwati. Keduanya ternyara sama-sama sakti dan tidak ada yang menyerah. Tidak lama kemudian lahirlah seorang bayi dari rahim Dewi Perjiwati, baik Dewi Perjiwati maupun Gatholoco sangat sayang melihat anak tersebut. Ia bertanya kepada Dewi Perjiwati, sebetulnya anak siapakah bayi itu ? dijawabnya. Ia adalah anak dari Gatholoco sendiri. Anak tersebut kelak diberi ajaran tentang rukun Islam.


RAMALAN JAYABAYA

Prabu Jayabaya raja Kediri bertemu pendita dari Rum yang sangat sakti, Maulana Ali Samsuyen. Ia pandai meramal serta tahu akan hal yang belum terjadi. Jayabaya lalu berguru padanya, sang pendeta menerangkan berbagai ramalan yang tersebut dalam kitab Musaror dan menceritakan penanaman orang sebanyak 12.000 keluarga oleh utusan Sultan Galbah di Rum, orang itu lalu ditempatkan di pegunungan Kendenag, lalu bekerja membuka hutan tetapi banyak yang mati karena gangguan makhluk halus, jin dsb, itu pada th rum 437, lalu Sultan Rum memerintahkan lagi di Pulau Jawa dan kepulauan lainnya dgn mengambil orang dari India, Kandi, Siam. Sejak penanaman orang-orang ini sampai hari kiamat kobro terhitung 210 tahun matahari lamanya atau 2163 tahun bulan, Sang pendeta mengatakan orang di Jawa yang berguru padanya tentang isi ramalan hanyalah Hajar Subroto di G. Padang. Beberapa hari kemudian Jayabaya menulis ramalan Pulau Jawa sejak ditanami yang keduakalinya hingga kiamat, lamanya 2.100 th matahari. Ramalannya menjadi Tri-takali, yaitu :

I. Jaman permulaan disebut KALI-SWARA, lamanya 700 th matahari (721 th bulan). Pada waku itu di jawa banyak terdengar suara alam, gara-gara geger, halintar, petir, serta banyak kejadian-kejadian yang ajaib dikarenakan banyak manusia menjadi dewa dan dewa turun kebumi menjadi manusia.

II. Jaman pertengahan disebut KALI-YOGA, banyak perobahan pada bumi, bumi belah menyebabkan terjadinya pulau kecil-kecil, banyak makhluk yang salah jalan, karena orang yamg mati banyak menjelma (nitis).

III. Jaman akhir disebut KALI-SANGARA, 700 th. Banyak hujan salah mangsa dan banyak kali dan bengawan bergeser, bumi kurang manfaatnya, menghambat datangnya kebahagian, mengurangi rasa-terima, sebab manusia yang yang mati banyak yang tetap memegang ilmunya.

Tiga jaman tsb. Masing-masing dibagi menjadi Saptama-kala, artinya jaman kecil-kecil, tiap jaman rata-rata berumur 100 th. Matahari (103 th. bulan), seperti dibawah ini :

I. JAMAN KALI-SWARA dibagi menjadi :

Kala-kukila 100 th, (th. 1-100): Hidupnya orang seperti burung, berebutan mana yang kuat dia yang menang, belum ada raja, jadi belum ada yang mengatur/memerintah.

Kala-buddha (th. 101-200): Permulaan orang Jawa masuk agama Buddha menurut syariat Hyang agadnata (Batara Guru).

Kala-brawa (th. 201 - 300): Orang-orang di Jawa mengatur ibadahnya kepada Dewa, sebab banyak Dewa yang turun kebumi menyiarkan ilmu.

Kala-tirta (th. 301-400): Banjir besar, air laut menggenang daratan, di sepanjang air itu bumi menjadi belah dua. Yang sebelah barat disebut pulau Sumatra, lalu banyak muncul sumber-sumber air, disebut umbul, sedang, telaga, dsb.

Kala-swabara (th. 401-500): Banyak keajaiban yang tampak atau menimpa diri manusia.

Kala-rebawa (th. 501-600): Orang Jawa mengadakan keramaian2-kesenian dsb.

Kala-purwa (th. 601-700): Banyak tumbuh2an keturunan orang2 besar yang sudah menjadi orang biasa mulai jadi orang besar lagi.

II. JAMAN KALA-YOGA dibagi menjadi :

Kala-brata (th. 701-800): Orang mengalami hidup sebagai fakir.

Kala-drawa (th. 801-900): Banyak orang mendapat ilham, orang pandai menerangkan hal-hal yang gaib.

Kala-dwawara (th. 901-1.000): Banyak kejadian yang mustahil.

Kala-praniti (th. 1.001- 1.101): Banyak orang mementingkan ulah pikir.

Kala-teteka (th. 1.101 - 1.200): Banyak oran g datang dari negeri-negeri lain.

Kala-wisesa (th. 1.201 - 1.300): Banyak orang yang terhukum.

Kala-wisaya (th. 1.301 - 1.400): Banyak orang memfitnah.

III. JAMAN KALA-SANGARA dibagi menjadi :

Kala-jangga (th. 1.401 - 1.500): Banyak orang ulah kehebatan.

Kala-sakti (th. 1.501 - 1.600): Banyak orang ulah kesaktian.

Kala-jaya (th. 1.601 - 1.700): Banyak orang ulah kekuatan untuk tulang punggung kehidupannya.

Kala-bendu (th. 1.701 - 1.800): Banyak orang senang berbantahan, akhirnya bentrokkan.

Kala-suba (th. 1.801 - 1.900 ) : Pulau Jawa mulai sejahtera, tanpa kesulitan, orang bersenang hati.

Kala-sumbaga (th. 1.901 - 2.000) : Banyak orang tersohor pandai dan hebat.

Kala-surasa (th. 2.001 - 2.100): Pulau Jawa ramai sejahtera, serba teratur, tak ada kesulitan, banyak orang ulah asmara.

Ramalan yang ditulis Jayabaya itu disetujui oleh pendeta Ali Samsujen, kemudian sang pendeta pulang ke negerinya, diantar oleh Jayabaya dan putera mahkotanya Jaya-amijaya di Pagedongan, sampai di perbatasan. Jayabaya diiringi oleh puteranya pergi ke Gunung Padang, disambut oleh Ajar Subrata dan diterima di sanggar semadinya. Sang Anjar hendak menguji sang Prabu yang terkenal sebagai pejelmaan Batara Wisnu, maka ia memberi isyarat kepada endang-nya (pelayan wanita muda) agar menghidangkan suguhan yang terdiri dari :

Kunir (kunyit) satu akar

Juadah satu takir (mangkok dibuat dari daun pisang)

Geti (biji wijen bergula) satu takir

Kajar (senthe sebangsa ubi rasanya pahit memabokkan satu batang)

Bawang putih satu takir

Kembang melati satu takir

Kembang seruni (serunai; tluki) satu takir

Anjar Subrata menyerahkan hidangan itu kepada sang prabu. Seketika Prabu Jayabaya menjadi murka dan menghunus kerisnya, sang Anjar ditikamnya hingga mati, jenazahnya muksa hilang. Endangnya yang hendak laripun ditikamnya pula dan mati seketika.

Sang putera mahkota sangat heran melihat murkanya Sang Prabu yang membunuh mertuanya (Anjar Subrata) tanpa dosa. Melihat putera mahkotanya sedih, sesudah pulang Prabu Jayabaya berkata dengan lemah lembut. "Ya anakku putera mahkota, janganlah engkau sedih karena matinya mertuamu, sebab sebenarnya ia berdosa terhadap Kraton. Ia bermaksud mempercepat berakhirnya, para raja di tanah Jawa yang belum terjadi. Hidangan sang Ajar menjadi perlambang akan hal-hal yang belum terjadi. Kalau ku-sambut (hidangan itu) niscaya tidak akan ada kerajaan melainkan hanya para pendeta yang menjadi orang-orang yang dihormati oleh orang banyak, sebab menurut guruku Baginda Ali Samsujen, semua ilmu Ajar itu sama dengan semua ilmuku".

Sang prabu anom bertunduk kepala memahami, kemudian mohon penjelasan tentang hidangan-hidangan sang pendeta dalam hubungannya dengan kraton-kraton yang bersangkutan, Sabda Prabu Jayabaya, "Ketahuilah anakku, bahwa aku ini penjelmaan Wisnu Murti, berkewajiban mendatangkan kesejahteraan kepada dunia, sedang penjelmaanku itu tinggal dua kali lagi. Sesudah penjelmaan di Kediri ini, aku akan menjelma Malawapati dan yang terakhir di Jenggala, sesudah itu aku tidak akan lagi menjelma di pulau Jawa, sebab hal itu tidak menjadi kewajibanku lagi. Tata atau rusaknya jagad aku tidak ikut-ikut, serta keadaanku sudah gaib bersatu dengan keadaan di dalam kepala-tongkat guruku. Waktu itulah terjadinya hal-hal yang dilambangkan dengan hidangan Sang Ajar tadi. Terdapat pada 7 tingkat kerajaan, alamnya bergantian, berlainan peraturannya. Wasiatkanlah hal itu kepada anak cucumu di kemudian hari".

Adapun keterangan tentang 7 (tujuh) kraton itu sbb:

Jaman Anderpati dalam jaman Kalawisesa, ibukotanya Pajajaran, tanpa adil dan peraturan. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa emas. Itulah yang diperlambangkan dalam suguhan si Ajar berupa kunyit. Lenyapnya kerajaan karena pertengkaran di antara saudara. Yang kuat menjadi-jadi kesukaanya akan perang dalam tahun rusaknya negara.

Jaman Srikala Rajapati Dewaraja, ibukotanya Majapahit, ada peraturan negara sementara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa perak. Itulah diperlambangkan suguhan Ajar berupa juadah. Dalam 100 th. Kraton itu sirna, karena bertengkar dengan putera sendiri.

Jaman Hadiyati dalam jaman Kalawisaya. Disanalah mulai ada hukum keadilan dan peraturan negara, ibukota kerajaan di Bintara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa tenaga kerja. Itulah yang diperlambangkan dalam suguhan berupa geti. Kraton sirna karena bertentangan dengan yang memegang kekuasaan peradilan.

Jaman Kalajangga, bertakhtalah seorang raja bagaikan Batara, ibukotanya di Pajang. Disanalah mulai ada peraturan kerukunan dalam perkara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa segala macam hasil bumi di desa. Itulah yang diperlambangkan dalam suguhan Ajar berupa kajar sebatang. Sirnanya kerajaan karena bertengkar dengan putera angkat.

Jaman Kala-sakti yang bertakhta raja bintara, ibukotanya Mataram. Disanalah mulai ada peraturan agama dan peraturan negara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa uang perak. Itulah yang dilambangkan dalam suguhan Ajar berupa bawang putih.

Jaman Kala-jaya dalam pemerintahan raja yang angkara murka, semua orang kecil bertabiat sebagai kera karena sulitnya penghidupan, ibukotanya di Wanakarta. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa uang real. Itulah lambang suguhan yang berupa kembang melati. Kedudukan raja diganti oleh sesama saudara karena terjadi kutuk. Hilanglah manfaat bumi, banyak manusia menderita, ada yang bertempat tinggal di jalanan, ada yang di pasar. Sirnanya Karaton karena bertengkar dengan bangsa asing.

. Jaman Kala-bedu di jaman raja hartati, artinya yang menjadi tujuan manusia hanya harta, terjadilah Karaton kembali di Pajang-Mataram. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa macam-macam, ada yang berupa emas-perak, beras, padi dsb. Itulah yang dilambangkan Ajar dengan suguhannya yang berupa bunga serunai. Makin lama makin tinggi pajak orang kecil, berupa senjata dan hewan ternak dsb, sebab negara bertambah rusak, kacau, sebab pembesar-pembesarnya bertabiat buruk, orang kecil tidak menghormat. Rajanya tanpa paramarta, karena tidak ada lagi wahyunya, banyak wahyu setan, tabiat manusia berubah-ubah.

Perempuan hilang malunya, tiada rindu pada sanak saudara, tak ada berita benar, banyak orang melarat, sering ada peperangan, orang pandai kebijaksanaannya terbelakang, kejahatan menjadi-jadi, orang-orang yang berani kurangajar tetap menonjol, tak kena dilarang, banyak maling menghadang di jalanan, banyak gerhana matahari dan bulan, hujan abu, gempa perlambang tahun, angin puyuh, hujan salah mangsa, perang rusuh, tak ketentuan musuhnya.

Itulah semua perlambang si Ajar yang mengandung berbagai maksud yang dirahasiakan dengan endangnya ditemukan dengan Prabu Jayabaya. Saat itu sudah dekat dengan akhir jaman Kalabendu. Sirnanya raja karena bertentangan dengan saingannya (maru=madu). Lalu datanglah jaman kemuliaan raja.

Di saat inilah pulau Jawa sejahtera, hilang segala penyakit dunia, karena datangnya raja yang gaib, yaitu keturunan utama disebut Ratu Amisan karena sangat hina dan miskin, berdirinya tanpa syarat sedikitpun, bijaksanalah sang raja. Kratonnya Sunyaruri, artinya sepi tanpa sesuatu sarana tidak ada sesuatu halangan. Waktu masih dirahasiakan Tuhan membikin kebalikan keadaan, ia menjadi raja bagaikan pendeta, adil paramarta, menjauhi harta, disebut Sultan Herucakra.

Datangnya ratu itu tanpa asal, tidak mengadu bala manusia, prajuritnya hanya Sirullah, keagungannya berzikir, namun musuhnya takut. Yang memusuhinya jatuh, tumpes ludes menyingkir, sebab raja menghendaki kesejahteraan negara dan keselamatan dunia seluruhnya.

Setahun bukannya dibatasi hanya 7.000 real tak boleh lebih. Bumi satu jung (ukuran lebar. kl. 4 bahu) pajaknya setahun hanya satu dinar, sawah seribu (jung?) hasilnya (pajaknya) hanya satu uwang sehari, bebas tidak ada kewajiban yang lain. Oleh karena semuanya sudah tobat, takut kena kutuk (kuwalat) ratu adil yang berkerajaan di bumi Pethikat dengan kali Katangga, di dalam hutan Punhak. Kecepit di Karangbaya. Sampai kepada puteranya ia sirna, karena bertentangan dengan nafsunya sendiri.

Lalu ada Ratu (raja) Asmarakingkin, sangat cantik rupanya, menjadi buah tutur pujian wadya punggawa, beribukota di Kediri. Keturunan ketiganya pindah ke tanah Madura. Tak lama kemudian Raja sirna karena bertentangan dengan kekasihnya.

Lalu ada 3 orang raja disatu jaman, yaitu :

Ber-ibukota di bumi Kapanasan

Ber-ibukota di bumi Gegelang

Ber-ibukota di bumi Tembalang. Sesudah 30 th. mereka saling bertengkar, akhirnya ketiganya sirna semua. Pada waktu itu tidak ada raja, para bupati di Mancapraja berdiri sendiri-sendiri, karena tidak ada yang dianggap (disegani).

Beberapa tahun kemudian ada seorang raja yang berasal dari sabrang (lain negeri). Nusa Srenggi menjadi raja di Pulau Jawa ber-ibukotadi sebelah timur Gunung Indrakila, di kaki gunung candramuka. Beberapa tahun kemudian datang prajurit dari Rum memerangi raja dari Nusa Srenggi, raja dari Nusa Srenggi kalah, sirna dengan bala tentaranya. Para prajurit Rum mengangkat raja keturunan Herucakra, ber-ibukota di sebelah timur kali opak, negaranya menjadi lebih sejahtera, disebut Ngamartalaya. Sampai pada keturunanya yang ke tiga, sampailah umur Pulau jawa genap 210 matahari. Ramalan di atas disambung dengan "Lambang Praja" yang dengan kata-kata indah terbungkus melukiskan sifat keadaan kerajaan kerajaan di bawah ini

JANGGALA

PAJAJARAN

MAJAPAHIT

DEMAK
PAJANG

MATARAM KARTASURA

SURAKARTA

JOGJAKARTA.


Yang terakhir mengenai hal yang belum terjadi ialah :

Negara Ketangga Pethik tanah madiun

Negara Ketangga kajepit Karangboyo

Kediri

Bumi Kepanasan, Gegelang (Jipang), Tembilang (Dekat Tembayat)

Ngamartalaya



SERAT TRIPAMA


ditulis oleh sri mangkunegaran ke 4 di surakarta ,isinya menceritakan tentang 3 hal dalam kehidupan manusia dan hubungannya dengan kewarganegaraan,

tokoh utama yang diceritakan dalam serat ini adalah patih suwanda,dimana pada waktu kecil beliau bernama bambang sumantri.putra begawan suwandagni,sesudah dewasa mengabdi pada prabu sasrabahu.raja di maespati.sebagai bentuk loyalitasnya terhadap negara dia mengorbankan nyawanya.

berikut ini petikan pujian mangkunegaran ke 4 terhadap patih suwanda.

bahasa indonesia...

seyogyanya wahai prajurit
tirulah sebisa bisanya
cerita jaman dahulu
yakni tangan kanan sang prabu
sasrabahu di maespati
yang bernama patih suwanda
bekal pengabdiannya
meliputi 3 hal
guna kaya dan purun selalu dipegang
sebagai seorang manusia utama


adapun ketiga bekal pengabdian itu
guna berarti serba bisa
berusaha untuk selalu berhasil
kaya sesungguhnya
ketika menjadi panglima perang
melawan negeri magada
ia sukses memboyong putri domas
kemudian dihaturkan pada rajanya
purun jelas ketika bertempur melawan raksasa alengka
suwanda gugur di medan laga

penjelasan ayat diatas
1 GUNA: ahli ,pandai dan terampil,dalam mengabdi kepada bangsa dan negara suwanda selalu
membekali diri dengan berbagai ilmu dan ketrampilan,dia tidak bekerja asal asalan agar
segalanya berjalan sukses
2 KAYA kaya serba kecukupan,sewaktu patih suwanda diutus rajanya ,dia kembali dengan harta
rampasan perang yang melimpah,banyaknya hasil rampasan tidak diambil sendiri melainkan
diserahkan pada rajanya
3 PURUN pemberani bersemangat dinamis sebagai pemuka negara,suwanda selalu tampil dengan
bersemangat menyala nyala tanpa diserti pamrih bahkan jika perlu jiwa raganya dikorbankan
hal ini terbukti ketika dia bertempur dengan prabu dasamuka dan dia gugur di medan laga